SALAM


ASSALAMU ALAIKUM WR. WB, TERIMA KASIH ANDA TELAH BERKUNJUG KE BLOG INI

Selasa, 19 Oktober 2010

Biografi Sang Pencerah

Masa Kecil Muhammad Darwis

Diwaktu kecilnya KHA. Dahlan bernama Muhammad Darwis. Permulaan pendidikannya ada di pangkuan ayahanda K.H. Abubakar (di rumah sendiri). Karena memang tampak Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik dan budi pekertinya halus dan hatinya lunak tetapi wataknya cerdas, maka ayah bundanyapun sangat sayang karena hanya satulah anak yang putra. Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun ia telah dapat membaca Al-Qur’an dengan lancer sampai khatam. Dalam pada itu Muhammad Darwis memang seorang yang punjuling ngapak cerdas fikirannya dapat mempengaruhi kawan-kawan sepermainannya dan mengatasi segala permainan kawan-kawannya.

Setelah hampir dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji kepada K.H Muhammad Saleh menuntut ilmu Fiqih. Dan kepada K.H. Muhsin menuntut ilmu Nahwu. Kedua guru tersebut, merupakan kakak ipar yang berdampingan rumah tangganya dalam sekampung. Dan seterusnya pelajaran yang lain-lain berguru kepada ayahandanya sendiri, juga berguru kepada K.H. Muhammad Noor bin K.H. Fadlil, Hoofd Panghulu Hakim Kota Yogyakarta dan K.H. Abdulhamid di Kampung

Lempuyang Wangi Yogyakarta.

Muhammad Darwis Dewasa

Sehari demi sehari menjadi bulan, dari bulan ke bulan menjadi tahun, Muhammad Darwis telah menginjak umur dewasa. Sudah tentu Muhammad Darwis sudah merasa tidak layak lagi bermain-main dengan kawan-kawannya sejak kecilnya. Apa pula memang Muhammad Darwis anak yang rajin ihwalnya mengatur diri dan alat-alatnya belajar sehingga tempo buat bermain-main tidak ada lagi. Muhammad Darwis memang sejak kecil sampai umur dewasanya hidup berkisar di bawah lingkungan suasana yang aman tenteram dan masyarakat yang sejahtera karena berdampingan dengan ayah bundanya sendiri dan kerabat kerabatnya para alim ulama yang hidup dalam bahagia. Jadi, karenanya dengan sendirinya Muhammad Darwis mempunyai budi pekerti yang baik dan akhlaq yang murni dan suci.

Muhammad Darwis Kawin

Ayah bundanya tidak lepas pandangannya menjaga putranya yang disayang itu. Muhammad Darwis sudah menginjak umur 18 tahun, ayah bundanya ingin hendakmengawinkan dengan putri dari Kyai Haji Muhamad Fadlil Hoofd Panghulu Hakim di Yogyakarta yang bernama Siti Walidah. Setelah perundingan orang tua dari kedua pihak dapat persetujuan dan peralatan secara sederhana sudah lengkap, maka perkawinan dilangsungkan pada bulan Dzulhijjah tahun 1889 Miladiyah dengan suasana riang gembira dan tenang.

Muhammad Darwis Pergi Haji

Berselang beberapa bulan dari pada perkawinan, Muhammad Darwis yang sedang asmara diantara mempelai, tetapi karena terdorong sampai saatnya Muhammad Darwis harus berangkat ke Makkah untuk berhaji karena desakan ayah bundanya, justru kebetulan Muhammad Darwis dapat menambah pengetahuan yang lebih luas dan mendalam, karena di Makkah itulah tempat timbulnya Agama Islam

dan negeri yang penuh mengandung riwayat perjuangan Agama sejak Nabi Ibrahim sampai junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Pun banyak pula ulama-ulama bangsa Indonesia. Dan banyak pula ulama-ulama besar dari pelbagai bangsa dan khususnya ulama bangsa Indonesia yang telah lama mukim di sana (Mekkah). Setelah umum mendengar ketetapan waktu hari bulan berangkatnya Muhammad Darwis bin Khatib Amin Haji Abubakar beberapa hari sebelumnya, maka berduyun-duyun sanak saudara handai taulan dari jauh dan dekat sama mengunjungi rumah K.H. Khatib Amin Haji Abubakar untuk memberikan selamat jalan akan putranya Muhammad Darwis. Memang demikianlah adat istiadat orang mengambil perhatian bagi mereka yang hendak berangkat pergi haji buat bangsa Jawa pada khususnya di masa itu. Apalagi bagi Muhammad Darwis, putra Kiyai Khatib Amin Haji

Abubakar dan putra menantu Hoofd Panghulu Hakim Yogyakarta, tentu merupakan yang istimewa kepada umat Islam daerah Yogyakarta. Diwaktu malam harinya menjelang berangkat, memang sudah menjadi adat istiadat di rumah Muhammad Darwis dikunjungi orang banyak sebagai kunjungan kehormatan dan malam perpisahan umum zonder undangan. Dan disitu diadakan bacaan Tahlil sebagai memberikan selamat jalan dengan serentak, atau membaca Barzanji dan yang lain. Dan selanjutnya diteruskan dengan ramah tamah sampai lepas tengah malam. Jam 7 pagi harinya berangkat para sepuh dan gurunya Muhammad Darwis serta kerabat-kerabatnya sudah sama berkunjung kembali untuk sama mengantar keberangkatannya ke Station Spoor Tugu. Karena pada waktu itu kota Yogyakarta masih sunyi soal kendaraan, maka umumnya Hajjah Walidah Ahmad Dahlan (Nyai ahmad Dahlan) orang berangkat haji dari rumahnya berjalan kaki bersamasama dengan para pengantarnya. Jam 8 setelah bersalaman dengan keluarga putri dan bersembahyang shafar, Muhammad Darwis berangkat keluar ke Station dihormati oleh para sesepuh dan dihiring oleh beratus-ratus pengantar dengan dimulai seruan adzan dengan nyaring tetapi sajak merawan (nglangut), sehingga para penghormat dan pengantar banyak yang berlinang-linang airmatanya dan tersedu-sedu. Dan pada masa itu soal pergi haji masih dipandang sebagai berpergian yang maha penting dan sukar sulit dalam perjalanannya. Sampai di stasion kurang lebih am 9, dan disitupun sudah penuh pengantar-pengantar yang sudah mendahului jalan. Kurang lebih jam 9.30 Muh Darwis dan pengantarpengantar yang langsung ke Semarang sudah menumpang gerbong spoor-nya, tinggal menunggu lonceng berbunyi. Téng-téng-téng lonceng berbunyi, muadzin berseru Qomat, spoor berangkat menuju Semarang, selamat jalan dan selamat tinggal. Jam 4 sore kereta api kenaikan Muhammad Darwis dan kawan-kawan serta pengantar-pengantarnya dari Yogyakarta sampai di stasion kota Semarang disambut oleh para masyayeh dan badal-badal-nya yang menyediakan pondokan dan mengurusi serba-serbinya semasa di Semarang. Tidak berapa hari Muhammad Darwis dengan kawan di kota pelabuhan Semarang, hari yang ketiga lalu berangkat ke Singapoor dengan menumpang kapal dagang bangsa Tionghwa, jam sore kapal meninggalkan Pelabuhan Semarang, selama tiga malam dua hari kapal itu sudah berlabuh di Singapoor dan disambut oleh Syekh Abdul Kahar di kampung Jawa, dengan beberapa orang pegawepegawe- nya untuk menerima jamaah dan barang-barangnya ke rumah pondokannya. Sudah tentu Muhammad Darwis dan kawan-kawan dapat sambutan yang sebaik-baiknya karena sejak beberapa hari Syaikh itu sudah diberi berita siapa Muhammad Darwis dari Yogyakarta itu. Tidak berapa hari pula Muhammad Darwis di Singapoor pada hari yang kelima sudah menumpang kapal Mispil dari Mij Maclin Walson yang berangkat dari Tanjung Pager menuju Eropa melalui Aden dan Jeddah. Lima belas hari kapal tersebut berlayar dari Tanjung Pager Singapoor sudah sampai di laut Merah menuju Pelabuhan Jeddah. Jam 10 pagi kapal sudah menurunkan jangkarnya, disambut oleh beberapa sampuk (prauw) yang akan mengangkut jamaah haji dari kapal ke Pelabuhan Jeddah. Setelah jamaah haji turun di pelabuhan Jeddah disambut

oleh Wakil Pemerintah Hejaz dengan pakaian resmi secara pakaian Arabi Mekkah dengan memberikan salam “Assalam ‘alaikum w.w.” dan berjabat tangan kepada rombongan jemaah haji yang pertama turun dari prauw. Kemudian dipersilahkan masuk pintu soal untuk ditanya orang dari mana? Orang yang ditanya harus menjawab dengan nama negerinya masing-masing. Karena pada masa waktu itu tiap-tiap negeri (kota) di Indonesia ini sudah ada Syekh-nya masing-masing di Makkah. Pada zaman itu (pemerintah Turki) disebut zaman Taqrir. Tetapi penduduk dari Yogyakarta harus disebut Mataram. Karena Sri Sultan Yogyakarta ada mempunyai Gedung Wakaf yang khusus diwakafkan untuk rakyat Mataram yang ada di Makkah baik yang pergi haji maupun yang mukim di sana. Adapun yang menjadi nadzir di sana ialah tiga orang keluarga yaitu Syekh Muhammad Shadiq, Syekh Abdulgani dan Abdullah Zalbani. Jadi Muhammad Darwis dengan kawan-kawannya dengan sendirinya harus tinggal di Gedung Wakaf Mataram. Dan masuk menjadi urusan salah seorang Syeh tersebut. Berhubung dengan Muhammad Darwis satu-satunya anak seorang Khatib dan menantunya Panghulu besar di Yogyakarta (Mataram) temtu saja dapat tempat majlis teristimewa di Gedung Wakaf tersebut. Muhammad Darwis dengan kawan-kawannya tiba di Makkah pada tanggal 25 bulan Rajab lalu melakukan Thawaf Sa’i dan Tahalul karena umrohnya dan istirahat sementara hari, lalu berziarah kepada para alim ulama yang dikenal dan yang tidak dikenal dari bangsa Indonesia yang ada di sana dan bangsa Arab yang telah ditunjukkan dari rumah dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

Selama Ada di Makkah

Selain sebagai biasa jamaah haji sama berziarah ke tempat ma_tsir-ma_tsir yang dipandang penting, umpama: Maulud Nabi, Maulud Ali, Jabal Qubaisy, Jabal Noor, Jabal Tsur dan sama rajin beribadat di Masjidil Haram, Muhammad Darwis rajin pula mengikut serta kawan-kawan yang sama menuntut ilmu kepada para alim ulama bangsa Indonesia yang sudah mukim di sana dan ulama Arab yang sudah dikenalkan sejak dari tanah Jawa oleh orang tuanya. Teristimewa bulan Ramadhan, banyak para alim ulama yang sama membaca kitab di Masjidil Haram di waktu pagi sampai siang, waktu siang sampai senja sebagai amalan ibadat dalam bulan yang mulia itu. Tetapi ulama bangsa Indonsia kebanyakan sama membaca kitabnya di rumah pada waktu malam. Seperti K.H. Makhfudz dari Termas, K.H. Nakhrawi (Muhtaram) dari Banyumas, K.H. Muhammmad Nawawi dari Bantan dan ulama bangsa Arab yang telah dikenal. Selama bulan Syawal setelah selesai hari Idul Fitri jamaah haji pada umumnya sama diantar oleh muthawwifnya masing- masing berziarah kepada para Imam Syafi’i untuk mengambil ijazah mengganti nama dari nama Indonesia menjadi nama Arab dan ditambah kata Haji. Muhammad Darwis pun tidak ketinggalan ikut serta dalam rombongannya, ia menuju Ziarah kepada Imam Syafi’i Sayid Bakri Syatha. Dan dapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Sesudah habis hari Arafat (hari wuquf) dan menyelesaikan rukun serta wajibnya ibadat haji, Haji Ahmad Dahlan tidak berapa lama lagi tinggal di Makkah, lalu bersiap untuk pulang ke tanah air. Pada akhir bulan haji berangkat dari Makkah menuju Jeddah dengan kawan-kawannya semula. Pada permulaan bulan Shafar Haji Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya sudah sampai di pelabuhan Semarang dan disambut oleh kerabat dan famili-familinya. Oleh karena pada masa itu soal pergi dan datang dari haji masih dipandang sebagai bepergian yang besar dan keramat (mulia) dan memang masih jarang orang dapat

menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima itu, maka tidak heran bahwa akan tibanya Haj Ahmad Dahlan di Yogyakarta itu menjadi kesibukan sanak kadang kerabat dan handai taulan Para pemuda-pemuda mempersiapkan kendaraan kudanya untuk menyongsong Haji Ahmad Dahlan ke Station Yogyakarta dengan semangat yang gembira dan meriah. Jam dua lepas tengah hari yang telah ditentukan Haji Ahmad Dahlan telah tiba di Station Yogyakarta dengan sambutan yang gembira, ratusan kaum muda yang berkuda, sedang para sepuh dan Haji Ahmad Dahlan serta familinya sama menunggang kereta yang istimewa. Sesampainya di kampung Kauman Haji Ahmad Dahlan dan kawannya turun dari kereta menuju ke Rumah Hoofd Panghulu untuk menyampaikan Selamat Datang dan menghaturkan salam taklim dari para ulama di Makkah yang sama mengirimkan salamnya, kemudian para haji yang turun itu sama pulang ke rumah masing-masing.

Kegembiraan mengantar dan menyongsong orang pergi dan pulang dari haji pada masa itu masih sebegitu besar perhatiannya, karena pada pengharapanmnya orang pergi dan pulang haji itu sama mengandung berkah yang besar dan banyak serta ampuh doanya selama 40 hari dari saat datangnya. Haji Ahmad Dahlan tidak tinggal lama di tanah suci Makkah, tetapi biasa sebagaimana jamaah haji yang lain. Hanya karena beliau ini rajin belajar disana dan memang sudah membawa bekal pengetahuan yang cukup dari rumah, maka banyaklah tambah pengetahuannya dari Makkah, sehingga dapat membantu memberi pelajaran kepada murid- murid ayahnya yang belajar di waktu siang (ba’dal

Dhuhur) dan di waktu sore (ba’dal Maghrib) dengan secara sorogan (satu persatu) menurut kitabnya masing-masing murid di langgar (musholla)-nya.

Haji Ahmad Dahlan Mulai Jadi Guru

Sejak pulang dari Makkah beliau sudah mempunyai bakat sebagai guru, yang mengajar murid-murid ayahnya yang belajar di waktu siang (ba’dal Dhuhur) dan di waktu sore (bakdal maghrib sampai isya) di langgar bagi anak anak yang belum dan sedang dewasa dengan secara sorogan (satu persatu) menurut kitabnya murid masing-masing, sebagai membantu pekerjaan ayahnya. Tetapi pada pelajaran di waktu sore (ba’dal Ashar) terhadap orang dewasa/para sepuh masih dipegang K.H. Abubakar sendiri dan Haji Ahmad Dahlan ikut serta dalam pengajian itu. Demikian berjalan terus dalam beberapa tahun, dan hanya apabila K.H. Abubakar berhalangan Haji Ahmad Dahlan lah yang mengganti sebagai wakilnya. Setindak demi setindak, berkembanglah sebutan Kiyai kepada Haji Ahmad Dahlan, mulai dari muridnya di waktu siang dan ba’dal Maghrib, lama-lama murid dewasa/para sepuh dari murid ayahandanya pun memanggil juga Kiyai.

Haji Ahmad Dahlan Diberi Modal Buat Dagang

Kurang lebih setahun sepulangnya Haji Ahmad Dahlan dari Makkah, K.H. Abu bakar sebagai ayah yang kasih sayang kepada putranya, maka dengan ikhlas hati dan cinta kasihnya, berkenan memberi modal hidup untuk berdagang kepada Haji Ahmad Dahlan dan mbakyunya (Nyai H.M. Saleh masing-masing 500 gulden sampai 1000 gulden. Tentu saja dua putra dan putri sama gembira menerima modal hidup daripada orang tua yang saleh dan terhormat sebesar itu. Nyai H. Saleh dengan modal 500 gulden lalu diserahkan kepada suaminya untuk menambah modal dagangnya yang telah berjalan sebagai toko barang cambric dan sebagian kecil kitab-kitab dan Al-Qur’an dan lain lain. Sedang Haji Ahmad Dahlan modal hidup itu sebagian banyak dibelikan kitabkitab yang dipandang perlu buat dirinya. Soal dagang untuk hidup duniawi bukan soal yang paling prinsip buat Haji Ahmad Dahlan tetapi dagang yang kekal dan zonder rugi serta untung dan abadi sampai dihari nanti. Demikianlah fikiran dan cita-cita KHA. Dahlan sejak dari dahulu.

Mu’syarah K.H. Khatib Amin H. Abu Bakar dalam

Rumah Tangganya

Kyai Khatib Amin H. Abubakar memang seorang yang alim tua dan dipertua oleh penghuni kampung Kauman dan kampung sekitarnya. Pekerjaannya menjadi guru Agama sebagai sukarela

untuk penghuni kampung Kauman dan kampung sekitarnya pada tiap- tiap hari disaat yang tertentu. Penghidupannya, selain menjabat pangkat Khatib Amin, menjadi Jati-houd handel untuk melayani umum. Tokonya di sebelah muka rumahnya, pekerjaan itu jalannya diserahkan kepada seorang magersari-nya yang boleh dipercaya. Keluarganya istri Nyai Khatib Amin dan putra dan putrinya dan rewang yang terdiri dari kerabatnya sendiri, Haji Ahmad Dahlan dengan istri dan anaknya termasuk

keluarganya. Pergaulannya sungguh senang dan menyenangkan bagi siapa saja yang memandang Aman tenteran ayem bahagia dan sejahtera dan mulia. Pergaulan dalam rumah itu seolaholah merupakan suatu gedung pendidikan jasmani dan rohani yang sangat tinggi nilai dan mutunya. Karena pengimpin pergaulan dalam rumah tangga itu pengimpin yang besar jiwanya dalam agama dan suci murni serta ikhlas jatinya. Yaitu beliau K.H. Khatib Amin yang luas ilmunya dan memang asal keturunan dari alim ulama yang telah lampau. Dan dibantu oleh putranya Haji Ahmad Dahlan yang sangat mirip segala gerak-geriknya, malah karena masih muda dan berpengetahuan, lebih supel dan mrantasi untuk melayani pergaulan sekeluarga rumah tangga itu dan tamu-tamunya. Sehingga barangsiapa tetamu yang datang membawa susah dari rumah, melihat suasana pergaulan yang senang dan tenang serta tenteram bahagia di rumah Kiyai Khatib Amin maka rasa terhiburlah mereka dan lenyaplah rasa susah yang berat itu. Dan barangsiapa tetamu yang datang membawa hati yang riang dan gembira, maka merasa bersyukurlah kepada Allah swt. karena merasa ikut menikmati pergaulan yang bahagia itu. Demikianlah suasana rumah tangga Kiyai Khatib Amin sejak datangnya Haji Ahmad Dahlan dari dimakamkan di Karangkajen dengan Makkah agak bertambah nilainya.

Ibu Nyai Khatib Amin Meninggal Dunia

Memang dunia selalu berubah dan suasana senantiasa saling berganti. Yang kemarin sudah bungah (gembira) dan yang sekarang bungah, mungkin besuk akan menjadi susah. Begitulah seterusnya Dalam pada itu keluarga Kiyai Khatib Amin Haji Abubakar bersualah dengan suatu musibah yang mengguncangkan masyarakat rumah tangganya, ialah pada akhir bulan Sya’ban tanggal 30 menghadap tanggal 1 bulan Ramadhan tahun 1890 Ibu Nyai Khatib Amin, ibunya Haji Ahmad Dahlan yang sangat dihormati dan dicintai telah meninggal dunia pulang ke rahmatullah, karena sakit dalam beberapa hari saja, Innalilllah wa inna ilaihi roji’un. Bukan saja keluarga Khatib Amin Haji Abubakar yang merasa kehilangan ibunya yang dicinta-sayangi, tetapi penghuni kampung Kauman dan sekitarnya, pria dan wanita yang ikut serta mengeluarkan air mata dan tersedu-sedu karena kehilangan ibu yang dicintai. Tanggal 1 bulan Ramadhan setelah disholatkan jenazah almarhumah di suraunya, jam 8.30 jenazah kehormatan kaum muslimin yang sebanyak-banyaknya. Mudah-mudahan ruh almarhumah diterima oleh Allah swt. dengan sebesar rahmat dan nikmatnya. Amin. Menurut adat istiadat di masa itu, mulai malam yang pertama, orang menyebut malam surtanah, dibacakan tahlil dan kenduri dan seterusnya pada tiap bakdal Isya sampai selesai tujuh hari, ratusan yang hadir tidak dengan diundang dan malam ketujuh dengan kenduri. Dan pada tiap-tiap pagi selama tujuh hari itu, keluarganya Kiyai Khatib Amin sama mengunjungi kubur ibunya untuk membaca tahlil. Pada malam 40 harinya, malam 100 hari, malam satu tahun, malam dua tahun dan malam 1000 harinya sebagai selamatan yang penghabisan, semua yang berhadir harus dengan undangan resmi. Dan jamuannya merupakan ambengan yang dibawa pulang oleh hadirin. Adapun jamuan yang terakhir 1000 hari itui lebih besar dari pada jamuan kenduri yang lain. Sejak meninggalnya almarhumah ibunda Haji Ahmad

Dahlan, ayahandanya Kiyai Khatib Amin Haji Abubakar hidup sebagai orang tua sebatangkara walaupun putra dan putrinya tidak kurang-kurangnya sama melayani seorang tua ayahandanya teristimewa Nyai Haji Shaleh yang sangat berdampingan rumah dengan ayahandanya sedang Haji Ahmad Dahlan dalam satu rumah dengannya. Kiyai Khatib Amin, rupanya karena keadaan suasana tenang tenteram dan aman sudah kembali sebagai sediakala, hidup sebatang karanya itu sangat tidak mempengaruhi jiwanya yang sabar dan kuat menekan nafsu dan hawanya. Sehingga tidak sedikit saja kelihatan menunjukkan rasa terharu terhadap almarhumah. Tetapi roman wajahnya kelihatan seperti biasa tidak mengandung rasa berat dan kecewa, malahan kelihatan bregas waras, sehat dan ‘afiat.

KHA. Dahlan Mengkawinkan Ayahandanya

Di saat yang riang gembira Haji Ahmad Dahlan sering mendekati ayahnya sambil melayani masa futur di waktu pagi dan bercakap-cakap soal aneka warna seolah-olah menghibur ayah dengan cara yang halus dan sopan santun sambil senda gurau, ayahanda dianjuri, “Andaikata ayah kawin lagi bagaimana?” Dengan anjuran yang disertai senyuman itu, ayah pun menjawab dengan senyum juga, “Ah aku sudah tua, sebentar lagi tentu akan menyusul ibumu!” “Soal menyusul walaupun anakanda yang masih muda tentu akan menyusul juga bahkan mungkin anakanda akan menyusul lebih dahulu”. “E, jangan kau menyusul ibumu,ibumu itu bagianku yang menyusul, sedang bagianmu menyusul istrimu kalau ia mati lebih dahulu.” Keduanya yang bercakap sama tertawa, tetapi tertawa ringan menunjukkan isi hatinya sama lega. Daripada ketelitian dan ketelatenan KHA. Dahlan serta pandainya bicara sejak mulai dari senda gurau sedikit demi sedikit menjadi perundingan yang konkrit dengan ayahnya. Sesungguhnya kami para anak anak sekalian itu sama memandang ayah hidup sebatang kara sama merasa sangat kasihan dan tidak sampai hati karena tidak ada ibu yang menghadapi ayah diwaktu minum di waktu pagi, dan tidak ada ibu pula yang menghadapi diwaktu dahar siang dan diwaktu dahar sore. Walaupun diantara satu dua ada yang melayani bapak, tetap sesudah selesai juga lantas sama pulang. Tetapi semua itu tidak sampai hati akan mencetuskan rasa hatinya terhadap Bapak, khawatir kalau-kalau tidak dapat persetujuan dari Bapak Keinginan mbakyu-mbakyu dan adik-adik, juga anaknya sendiri ingin memandang ayah hidup senang tenteram dan bahagia seperti sediakala (di zaman ibu yang sudah-sudah). Sang ayah menjawab dengan mengandung bertanya: “Apakah mungkin ayahmu ini akan dapat kawin seorang wanita yang seimbang dengan ibumu yang marhumah?” Hal itu tentu diikhtiari dengan sedapat mungkin. “Adakah calon ganti ibumu itu sudah kamu pikiran, kalau sudah siapakah calon itu? Cobalah kau tunjukkan namanya.” “Calon itu buat pendapat anaknda yang belum anaknda runding dengan mbakyu-mbakyu dan adik-adik ialah Ibu Khatib Tengah, bagaimana pertimbangan Ayah?” “Untuk menyingkat berunding, coba aku akan beristikharah pada Allah dan kau berunding dengan saudarasaudaramu. Dan apa nanti hasil istikharahku dan hasil rundinganmu kalau cocok, jadi putusan yang konkrit.” Dua hari setelah berunding yang terakhir ini, Alhamdulillah, hasil istikharah dan berunding dapat sesuai dengan bulat. Akhirnya sang ayah memberikan idzin untuk dijalankan perundingan dengan yang bersangkutan. Alhamdulillah, dengan qadla dan qadar Allah swt. perundingan diantara kedua belah fihak, KHA. Dahlan yang mempunyai ayah dan Raden Khatib Tengah Haji Muhammad yang mempunyai ibu, perundingan akan menjodohkan bakal mempelai tua ayah dan ibu itu dapat berhasil dengan lancer sebagai dimaksud. Kemudian KHA. Dahlan lalu melapurkan hasil perundingannya yang memuaskan itu kepada ayah dan saudarasaudaranya dengan lega dan gembira. Kemudian sang ayah memerintahkan kepada putra dan putri-putrinya supaya direncanakan pelaksanaanya dengan secara sederhana secara mempelai tua.Para putra dan para putri dari kedua belah pihak mempelai Kiyai Khatib Amin dan Ibu Nyai R. Ng. KhatibTengah Haji Muhammad Ma’ruf sama berkumpul berunding merencanakan peleksanaan nikahnya ayah dan ibu mempelai tua tersebut. Perundingan dapat memutuskan dengan bulat, bahwa pelaksanaannya pernikahan ayah dan ibu dilangsungkan pad hari Kamis malah Jum’at terakhir bulan rajab 1891 Miladiyah. Jadi berjalan 19 bulan 25 hari, dari wafatnya almarhumah ibu Nyai Khatib Amin. Perhelatannya hanya diselenggarakan dengan secara sederhana, yang ringkas, yaituWali saudara diundang di rumah Khatib Amin pada malam Jum’at tersebut jam 8 bakdal Isya. Yang diundang hanya keluarga mempelai laki dan mempelai wanita dan kerabat yang karib dari kedua belah fihak. Pernikahan dilangsungkan pada jam 8 persis di rumah Kiyai Khatib Amin H. Abubakar, muzki-nya K.H. M. Noor disaksikan oleh beberapa alim ulama keluarga dan kerabat mempelai. Doa perkawinandiucapkan oleh K.H. Muhammad Fadlil mertua Haji Ahmad Dahlan, bapak dari K.H. M. Noor. Selesai peralatan perkawinan lalu dihidangkan jamuan walimahan dengan Maidah Arabiah, walaupun secara sederhana, tetapi ladzat dinikmatinya. Kemudian ramah tamah sampai jam 10 malam, keluarga dan kerabat sama bubar pulang dengan ahlinya masing-masing ke rumah. Sejak itu sungguh-sungguh hidup Kiyai Khatib Amin kembali hidup senang tentram bahagia dan sejahtera, sebagai sediakala. Mudah-mudahan Allah swt. Senantiasa mencurahkan berkat dan rahmat dan nikmat-Nya. Amin.Berjalan dua tahun perkawinan K.Khatib Amin dengan Ibu Nyai Khatib Amin yang baru ini tidak dengan disangka dan dikira pada semula, bahwa akan dikarunia oleh Allah swt. putra yang sifatnya menggirangkan kepada Haji Ahmad Dahlan, karena beliau mempunyai saudara laki yang seibu dan seayah, walaupun sebenarnya hanya seayah saja. Anak itu makin berumur makin menggembirakan kepada ayah dan ibunya karena sifatnya kelihatan agak lebih dari pada yang lain. Anak itu diberi nama Muhammad Basyir. Tetapi akhirnya membikin kecewa kepada keluarga sekaliannya, ialah setelah anak itu meningkat umurnya menginjak tahun ke-6. Dengan kebijaksanaan Tuhan ditarik kembali oleh Tuhan, hendaknya tidak memfitnah dikelak kemudian hari (wafat) dalam tahun itu. Sepeninggal putranya Rd. Muhammad Basyir, ayah dan bundanya kelihatan susah hatinya, tetapi untunglah di sampingnya ada Haji Ahmad Dahlan yang dapat menghibur sehingga dengan sedikit kesusahan itu lekas menjadi ridha. Walaupun Haji Ahmad Dahlan tidak kurang cakap dan cukup memuaskan untuk berbakti melayani kepada ayahbundanya, tetapi karena memang ayah sudah tua dan dihinggap penyakit asma, sudah barang tentu kesehatan makin hari menjadi makin kurang. Sehingga beberapa hari beliau menderita sakit yang pada kelihatannya ringan saja, tetapi sakit itu membawa akhir hayat beliau dengan suasana tenang dan tenteram pada kira-kira 10 hari yang terakhir dalam bulan Sya’ban tahun Ehe 1896 Miladiyah. Dengan wafatnya Kiyai Khatib Amin Haji Abubakar, ummat Islam penduduk kota Yogyakarta kehilangan guru besar yang shaleh. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Tentu saja suasana kota Yogyakarta buat kaum muslimin pada umumnya menjadi heboh karenanya. Jenazah Kiyai Khatib Amin mendapat perhatian dari umum dan mendapat penghormatan cukup dari segala golongan teristimewa para bangsawan Kraton Yogyakarta. Jenazahnya setelah dishalati di Masjid Besar Yogyakarta, lalu dimakamkan di pemakanan Nitikan Yogyakarta, satu makam dengan ayahnya Kiyai Haji Sulaiman. Dan beratusratus pula kaum muslimin yang menghadiri bertahlil pada tiap-tiap malam sampai tujuh malam.

KHA. Dahlan Diangkat Menjadi Khatib Amin

Memang lazim secara adat istiadat Kraton Yogyakarta bilaman salah seorang abdinya yang meninggal dunia, maka anakanda lelaki yang sulung diangkat sebagai gantinya, menduduki akan kedudukan ayahnya yang meninggal itu dengan menerima tugas dan belanja serta sawah dan tanah tempat tinggal bekas yang ditempati ayahnya. Adapun Haji Ahmad Dahlan diangkat menjadi ganti ayahandanya, dengan diberi nama Khatib Amin Haji Ahmad Dahlan.Tugas KHA. Dahlan sebagai Khatib:

1. Khutbah Jum’at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib

2. Piket di serambi Masjid dengan kawan-kawannya enam orang tiap sekali seminggu

3. Menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton

4. Lain-lain yang tertentu dan tidak tentu

Dengan pengangkatan itu KHA. Dahlan mengalami hidup baru sebagai pegawai dalam negeri karena jabatannya. Tetapi walaupun demikian, beliau ini tidak mengubah sikapnya terhadap orang lain dalam masyarakat. Dengan pengangkatan beliau menjadi khatib, maka terpaksa beliau menginjak halaman hidup baru sebagai pejabat resmi yamg mempunyai tugas sebagai tersebut di atas. Tugastugas itu oleh KHA. Dahlan digunakan untuk mengamalkan ilmunya dan diwaktu piket di serambi Masjid Besar digunakan untuk memberi pelajaran kepada mereka yang tidak dapat belajar di surau-surau tempat pengajian yang tetap waktunya, diwaktu pagi, di waktu siang dan diwaktu sore, karena desakan ekonominya dan mereka itu memang biasa tidur atau istirahatnya di serambi itu. Kesempatan yang demikian itu (piket/caos) tidak digunakan oleh para khutaba yang lain kecuali oleh Khatib Amin Haji Ahmad Dahlan. Karena piket di serambi Masjid Besar itu tidak ada pekerjaan yang pasti kecuali Muadzin dan merbot (tukang sapu).

Sifat KHA. Dahlan

KHA. Dahlan walaupun ujud pribadinya masih muda, tetapi karena memang sudah luas pengetahuannya dan memang sudah sering membantu pekerjaan mengajar (membaca kitab) almarhum ayahnya dikala ada halangan (ta’adzur) terhadap murid-murid ayah yang sepintar dan lebih tua dari beliau, jadi diangkat sebagai Khatib pengganti kedudukan ayahnya itu tidak menjadi kebanggaan (tafakhur) bagi KHA. Dahlan. Memang KHA. Dahlan sejak mulai kecil sudah memiliki tabiat yang halus dan lemah lembut serta sabar dan suka mengalah, asal tidak menyinggung hukum Agama yang merugikan. Berani mengubah adat istiadat yang bertentanga dengan agama, walaupun sudah berlaku sejak di masa yang lampau oleh orang-orang tua kita, dengan cara yang bijaksana. KHA. Dahlan orang yang kuat hati, teguh pendiriannya berdiri di atas keyakinan imannya, berani bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang benar bagi agama, walaupun berakibat merugikan kepada pribadinyasendiri. Beliau seorang alim yang sudah merasa dan mengakui bahwa dirinya telah menduduki kursi ulama yang penuh tanggung jawab atas rakyat ummatnya di sisi Allah swt. tentang baik buruknya dan sesak dan benar agamanya.Dan merasa tersentuh oleh kata-kata Imam Ghazali dalam kitabnya yang dirasa tepat benar (logis), yaitu Fasadul ‘iyali min fasadil muluk wa fasadil muluki min ‘ulamaissyu. Rakyat, raja dan pembesar kepala negara sama rusak susilanya, apalagi jiwa agama ketauhidannya, sudah bejat sama sekali, sehingga Islam tinggal nama, Al-Qur’an dan kitab- kitabnya tinggal tulisannya. Perbuatan maksiat merajalela meliputi masyarakat dari segala tingkat, namun para ulama/kiyai-kiyai masih tetap mengakui sebagai ulama yang shalih. Perkataan Imam Ghazali diakui kebenarannya, tetapi nama Ulama’usy-syuk dibikin buang-buangan oleh para ulama diantara satu sama lain dengan timbal balik. Ulama yang shalih itu sama menunjukkan keshalihannya, dengan tiada suka menuntut kehidupan dunia dengan usaha, tetapi malah menunjukkan keshufiannya kepada para murid-murid khususnya dan kepada kaum muslimin umumnya yang akibatnya menjadi sasaran sidqah, sasaran zakat dan hadiyah.

Perjuangan KHA. Dahlan Soal Kiblat

Setelah diselidiki keadaan merosotnya umat manusia, terutama ummat Islam dalam agamanya, sehingga shalat lima waktu hanya merupakan shalat gambar saja, artinya shalat yang tidak ada bekasnya, karena shalatnya hanya mengikuti adat istiadat orang-orang tuanya yang telah lampau di masa yang lalu, sehingga shalat itu hanya dipandang sebagai adat istiadat Islam yang tidak berjiwa agama. Terbukti pada keadaan yang terjadi di masa yang lalu, ialah masjid di tanah Jawa banyak yang pembangunannya tidak didasarkan untuk kepentingan agama, tetapi didasarkan untuk kerapihan pembangunan negara. Ternyata bahwa keadaan masjid itu kiblatnya tidak tepat ke arah Masjidil Haram di Makkah, tetapi bangunan Masjid itu kebanyakan mengikuti rentetan jalan yang sudah ada. Malah ada masjid yang menghadap ke arah timur laut, dan kiblatnya ke arah barat daya. Karena jalan besar yang mukanya membujur dari timur dan ke barat laut, tidak dari selatan ke utara menurut petunjuk kompas. Ada juga masjid yang kiblatnya tepat ke arah Masjidil Haram di Makkah, yaitu masjid yang kuno-kuno seperti masjid di Demak, daerah Semarang, masjid di Pasar Gede Masjidnya Ki Panembahan Senopati di Yogyakarta. Dan mungkin Masjid Ngampel di Surabaya dan lain-lain, tetapi tidak banyak. Selama itu kiblat masjid yang demikian itu tidak menjadi perhatian oleh kaum muslimin pada umumnya. Padahal shalat lima waktu, adalah tiang besar bagi Agama Islam dan sumber agung amal shalih bagi umat Islam. Oleh karena itu KHA. Dahlan sebagai orang yang ahli dalam ilmu falaq (cakrawala) mengetahui benar dengan keyakinan bahwa masjid-masjidnya kaum muslimin di Indonesia pada umumnya dan di tanah Jawa pada khususnya, banyak yang kiblatnya tidak tepat menuju ke arah Masjidil Haram di Makkah. Oleh karena itu beliau bersungguhsungguh berusaha dengan sekuat tenaga dan fikirannya untuk membenarkan kiblat shalatnya kaum Muslimin Indonesia dalam masjid-masjidnya, terutama di Yogyakarta. Beliau mengetahui bahwa akan memecahkan soal kiblat itu bukan soal ringan dan mudah. Tetapi soal yang berat dan sulit, dan mungkin menimbulkan heboh ummat Islam yang tidak diinginkan. Oleh karena itu beliau harus hati-hati, awas dan waspada. Karena para alim ulama di Indonesia pada masa itu belum/tidak banyak yang mempunyai keahlian dalam ilmu falaq (cakrawala) seperti KHA. Dahlan. Hanya seorang alim mempunyai keahlian dalam ilmu falaq di Semarang ialah Kiyai Raden Haji Dahlan dari Termas Pacitan dan seorang lagi ialah Syaichul Ilam yang diangkat oleh Belanda yaitu Sayid Usman al-Habsyi di Batavia. KHA. Dahlan tentu merasa cemas akan memecahkan soal kiblat di Yogyakarta, karena akan menghadapi para ulama yang masih buta dalam ilmu Falaq dan kekuasaan agama yang hanya diserahkan kepada Hoofd Panghulu dan bawah-bawahannya yang kebanyakan agama-agama naluri/wajadna Abaana. Walaupun rasa cemas rasa hatinya hendak melaksanakan maksudnya yang berat dan sulit itu, tetapi karena kepentingan agama, maka berat dan sulit itu tidak dihiraukan, karena me mang sudah semestinya menegakkan kebenaranagama di tengah-tengah masyarakat yang bobrok harus ada rintangan dan pengurbanan dan bencana yang hebat tetapi karena berkeyakinan bahwa tujuan itu akan berhasil dengan taufiq dan hidayat Allah swt. dengan sabar dan tawAkal dikerjakan. KHA. Dahlan mulai membuka kata-katanya tentang kiblat yang dimaksud, di pengajian orang-orang tua setempat yang gurunya Kyai Lurah H.M. Nur, seorang alim yang terkemuka di Yogyakarta, yang berwibawa dalam pandangan serta memang mempunyai kedudukan menjadi Imam Ratib di Masjid Besar kota Yogyakarta, sebagai lurah (kepala) berjamaah di Masjid Besar tersebut. Serta pula memang tempat kediamannya menjadi pusat pesantren yang ramai sekali bilamana diadakan upacara Hari Besar Islam. Yang dimaksud Hari Besar Islam pada masa itu, bukanlah Hari Besar Islam yang diresmikan oleh Pemerintah Indonesia sekarang ini. Tetapi hari besar Idul Fitri, hari 10 Asyura dan Nisfu Sya’ban. Dua hari besar itu biasa dirayakan dengan membaca kitab yang menerangkan maziah-maziahnya dua hari besar itu dan betapa besar pahalanya orang yang beramal baik di hari itu. Dan perayaan itu dihabisi dengan jamuan besar, yaitu kebuli samin made in Arabia yang dengan memotong beberapa ekor kambing yang dibiayai dengan urunan yang pada tiap-tiap orang sedikitnya 0,5 gulden dan banyaknya tidak terbatas. Dalam perayaan yang demikian itu biasanya dapat perhatian besar sekali dari penduduk santri dari luar kampung Kauman, umpamanya dari Karangkajen, Pakualaman, Lempuyangan dan Kadipaten. Di situlah tempat meletakkan maksud KHA. Dahlan yang diucapkan oleh Kiyai Lurah Haji Muhammad Noor terhadap mereka para hadirin dengan secara bil hikmat wal mauidzotil hasanah sebagai permakluman saja, dengan kata-katanya; “Assalamu’alaikum w.w. Saudara-saudara hadirin yang terhormat, di sini saya maklumkan kepada Saudara-saudara sekalian, bahwa berhubung perayaan Nisfu Syaban (tanggal 15 bulan Ruwah) yang mulia dan perayaan hari Asyura (10 bulan Muharram) yang bersejarah, yang telah sekian tahun berjalan, ternyata bertambah yang hadir sehingga surau yang tidak kecil itu sampai meluap-meluap tidak mencukupi untuk kita semua duduk di surau, malah lebih banyak yang duduk di tikar di atas tanah. Oleh karena itu dimajukan saran (usul) oleh Tibamin”, (KHA. Dahlan dan K.H. Lurah Nur adalah kakak ipar dari KHA. Dahlan, Tibamin adalah nama pangkatnya KHA. Dahlan sebagai Khatib Amin. Sebutan samparan kakak kepada adik) ,“Hendaknya surau itu dibesar dan panjangkan, serta diperindah dan kiblatnya ditujukan ke arah Masjidil Haram di Makkah sehingga dapat mencukupi bila kita duduk di surau semua bilamana kita mengadakan perayaan Nisfu Sya’ban dan Asysyura seperti sekarang ini. Adapun biaya untuk itu akan didapat dari barangsiapa saja diantara para hadirin yang suka menderma sebagai amal Jariyah yang tidak akan putus-putus pahalanya sampai hari kemudian. Yang nanti akan diputarkan list derma kepada Saudara-saudara.” Pada waktu itu diantaranya ada yang menyatakan, apa diperkenankan kalau sekarang mendaftar lebih dahulu. Pertanyaan itu dijawab boleh. Kemudian ada yang menyatakan, “Saya 25 gulden”, “Saya 100 gulden”, “Saya 50 gulden”, dan seterusnya sampai berjumlah kurang lebih 450 gulden, semua dicatat nama dan alamatnya. Kemudian list diputarkan menuju kepada yang didaftar dan belum didaftar. Alhamdulillah, dalam sembilan bulan surau yang dicetuskan itu sudah selesai dilaksanakan dengan menurut rencana yang dimaksud, serta tidak mendapat rintangan suatu apa. Yang sama menderma gembira dan menambah kemakmuran kampung Kauman dalam bidang pengajian dan pendidikan secara santri di masa itu. KHA. Dahlan gembira dan syukur kepada Allah swt. bahwa cita-citanya berhasil dengan keadaan suasana yangtenang aman tentram. Oleh karena itu beliau makin bertambah kuat jiwanya untuk meneruskan cita-citanya memperbaiki surau-surau dan masjid-masjid yang masih kurang sempurna kiblatnya. Pada akhir tahun 1897 KHA. Dahlan memandang perlu akan mencetuskan cita-citanya yang lebih luas itu membuat Majlis Musyawarah diantara para alim ulama dari dalam dan luar kota Yogyakarta untuk memecahkan soal kiblat tersebut di daerah Yogyakarta. Angan-angan itu dirundingkan lebih dahulu dengan kawan-kawan ulama yang telah sependapat, rundingan itu dapat persetujuan dan lalu ditetapkan waktunya. Hari Senin malam Selasa yang biasa para alim ulama free tidak mengadakan kuliah pada muridnya masing-masing di rumah/di pondok atau di surau-suraunya pada akhir sepuluhnya bulan Syawal tahun Jimawal 1312 (1898). Dihadiri para alim ulama kurang lebih 17 orang dari dalam dan luar kota Yogyakarta. Pertemuan ini tidak merupakan suatu rapat yang teratur dengan ketua dan penulis, tetapi merupakan pertemuan ramah-tamah dan musyawarah atau munadzarah yang masing-masing membawa kitab yangdipandang perlu untuk membicarakan soal kiblat. Diadakan di surau KHA. Dahlan Kampung Kauman atas undangan KHA. Dahlan. Musyawarah dimulai pada jam 8 malam sesudah ‘Isya (dahar malam) yang hadir:

1. K.H. Lurah Nur, Kauman Yogyakarta

2. KHA. Dahlan Kauman Yogyakarta

3. K. Muhammad Faqih Kauman Yogyakarta

4. KHA. Abu Bakar Kauman Yogyakarta

5. K.H. Khatib Cendana Kauman Yogyakarta

6. K.H. Abdul Hamid Lempuyangan Yogyakarta

7. K.H. Abdullah Siraj Pakualaman Yogyakarta

8. K.H. Marzuki Wonokromo Yogyakarta

9. K.H. Syafi’i Wonokromo Yogyakarta

10. K.H. Abdullah Blawong Yogyakarta

11. K.H. Kholil Wonokromo Yogyakarta

12. K.H. Ja’far bin Fadlil Kauman Yogyakarta

13. K.H. Muh. Shaleh Kauman Yogyakarta

14. H. Abdul Rahman Kauman Yogyakarta

15. H. Muhammad Humam Kauman Yogyakarta

16. Muh Al Baqir

17. Dan 5 orang pemuda

Sebagai tuan rumah KHA. Dahlan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah swt. dan mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian para kyai yang telah sama ikhlas hati menghadiri pertemuan yang kami adakan ini malam,“Lebih gembira pula saya dapat melihat persiapa para kyai telah membawa kitab-kitab atau nashah yang tentu saja bersangkut paut dengan masalah yang akan dibicarakan pada ini malam, ialah soal kiblat kita umat Islam di tanah Jawa pada umumnya dan Yogyakarta pada khususnya. Harapan kami mudah-mudahan ramah tamah munadzarah ini dapat persesuaian pendapat dalam munadzarah itu. Kemudian kami persilahkan kepada para sepuh mulai menerangkanpendapatnya. Tersilah.”

Setelah para kyai sama membuka kitabnya masingmasing dan menyatakan pendapat yang bersendi dari pada kaul-kaul-nya ulama yang ada di dalam kitabnya masingmasing yang temtu saja akan berbeda-beda kalam dan pahamnya, namun suasana munadzarah itu menunjukkan suasana tenang dan tenteram dan kelihatan musyawarah yang timbul dari hati ke hati, dan suci hati sentiment satu dengan yang lain. Demikianlah pada permulaannya. Akan tetapi, oleh karena pada permulaannya dipersilahkan menyatakan pendapatnya masing-masing, sudah menunjukkan perbedaan pendapat karena berdasar kaul-kaul-nya ulama terdahulu yang memang suda berbeda sejak masa dahulu dalam kitabnya. Dari sebab sama memegang dalil dari pada kitab-kitab yang lama itu mereka menjumud tidak mau pindah kepada keadaan yang benar dan nyata, dalam ilmu jaghrafiah yang dibenarkan oleh dunia, bahwa letaknya tanah suci yang ada kiblatnya sembahyang kaum muslimin di sebelah utara khatulistiwa di antara 24 derajat. Oleh karena itu kiblat kaum muslimin di tanah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya harus condong ke utara kira-kira sekian itu. Munadzarah berjalan langsung sampai jauh malam. Walaupun hawa malam makin jauh makin dingin, tetapi jalannya musyawarah malahan makin hangat dan seram. Dalil berlawan dalil, pendapat berlawan pendapat, sehingga terdengarlah seruan bang (azan) pak muadzin dari Masjid Besar, barulah munadzarah terhenti karena waktu subuh sudah masuk dan membikin tenang dan tentrem hati para alim ulama, kembali aman sebagai sedia kala.Setelah selesai sembahyang subuh para alim ulama sama pulang ke rumah masing-masing sama berjabatan tangan dan memberikan selamat jalan dan mengucapkan banyak terima kasih. Selesai. KHA. Dahlan merasa gembira, walau pun munadzarah itu tidak membawa hasil yang dimaksud dengan 100%, justru kebenaran bahwa yang demikian itu tidak menghebohkan suasana yang aman tenang dan tentram. Tetapi adanya musyawarah itu kesannya membawa pengaruh yang besar sekali bagi kaum muslimin yang sadar tentu akan mengikuti yang benar.

Masjid Besar Kota Yogya Lantainya Digaris Kapur

Selang beberapa hari dari adanya Musyawarah terkecewa itu, tiba-tiba bapak muadzin melihat loncengnya jam 12.0 menit masuk Masjid hendak memukul bedugnya dan menyerukan adzannya, sudah tentu selama memukul bedug tidak melihat kemana-mana melainkan kepada bedugnya Tetapi setelah menyerukan bangnya, penglihatannya lepas dapat melihat ke mana-mana bertemu dengan putihputih yang menggaris lantai Masjid sebesar ± 5 cm dari selatan ke utara ada tiga baris yang boleh dimengerti baris berjamaah sholat, harus menghadap kepada jihat ‘ainulqiblat. Selama itu para mushallin memang waktunya datang dan melihat baris kapur yang putih itu sama terkejut dalammhatinya tanya-menanya satu sama lain dijawab juga dengan pertanyakan siapakah yang berbuat demikian ini? Sedang heboh orang tanya-menanya, bapak muadzin menyerukan qamatnya lalu sama bersembahyang jamaah, sesudah sembahyang heboh lagi dan akhirnya penjaga penjaga yang bertugas pada hari itu lekas-lekas menghadap Kanjeng Kyai Panghulu untuk melaporkan kejadian di masjid yang demikian itu dengan sejelas-jelasnya. Akhirnya para penjaga terdiri dari para Khatib, Muadzin, yang berjamaah dua orang dan seorang merbot, bersama-sama menghadap Kyai Panghulu menghaturkan keadaan kejadian di masjid yang tidak dikira-kirakan itu, dengan suara gentar karena takut. Kanjeng Kyai Panghulu menerima lapuran dari penjaga penjaga masjid lima orang tersebut, lantas murka besar dan keras, karena merasa diganggu kekuasaannya dan diremehkan kewibawaannya dengan berkata keras: “Siapa yang berbuat demikian itu? Kurang ajar.” Penjaga menjawab: “Tidak tahu”. “He,tidak tahu?”Kemana kamu menjaga tidak tahu?” “Kami orang ada yang di luar, sedang pulang dan ada yang mencuci pakaian dan sapu-sapu di halaman Masjid seperti biasa.” “Pulang? kenapa pulang? Kamu sudah bosan jadi priyayi? Berani meninggalkan tugasmu, ya? Awas! Ayo kamu harus mencari siapa yang berbuat itu sampai dapat, kalau tidak dapat jangan tanya dosamu!” Orang lima sama matur sendiko! sambil meninggalkan tempat. Kanjeng Kyai Panghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat sesungguhnya sudah mempunyai dugaan yang kuat dalam penggalih-nya bahwa kejadian di Masjid Besar itu ialah akibat Musyawarah yang dihadiri alim ulama yang sejak beberapa Jum’ah yang lalu diadakan oleh Khatib Amin di suraunya. Oleh karena dugaan itu perlu akan dinyatakan kewajarannya, sehingga dapat diketahui kebenarannya. KHA. Dahlan dengan segera lalu dipanggil menghadap Kanjeng Kiyai Panghulu di kantor prive-nya, untuk diperiksa kebenarannya. KHA. Dahlan pun dengan segera datang menghadap kepadanya. Kyai Panghulu setelah melihat KHA. Dahlan menghadap, terpaksa meredakan nafsu amarahnya sehingga menerima kedatangan KHA. Dahlan itu dengan menunjukkan sikap yang baik, tenang dan sabar. Karena angkatan KHA. Dahlan sebagai Khatib Amin bukan angkatan beliau sendiri, tetapi angkatan dari Kanjeng Sultan Hamengku Buwana. “Khatib Amin, kemarin ada kejadian di Masjid Besar, bahwa di Masjid digaris orang-orang mengapur sebesar ± 5 cm dari selatan ke utara. Garis itu merupakan garis shaf shalat yang menghadap ke barat laut, siapakah yang berbuat itu?”“Saya tidak tahu dan tidak mengerti siapa yang berbuat itu! Saya kira yang jaga diwaktu kemarin itulah yang lebih mengetahui!” “Betulkah Khatib Amin tidak mengetahui dan tidak mengerti? Apakah kira-kira bukan akibat dari Musyawarah para alim ulama yang baru-baru ini diadakan di tempat kamu?” “Itupun saya tidak mengerrti, apakah itu akibat dari Musyawarahnya para alim ulama di tempat masjid saya atau bukan karena musyawarah alim ulama di tempat saya, tidak ada sangkut paut dan singgung menyinggung dengan soal menggaris masjid di mana-mana, apalagi Masjid Besar kota Yogyakarta.” “Kalau demikian, apakah yang dimusyawarahkan alim ulama itu, nyatanya setelah terjadi musyawarah itu lantas ada kejadian lantai Masjid Besar digaris dengan begitu rupa?” Saya kira semua pertanyaan Kanjeng Kyai kepada saya itu, tentu tidak dapat jawaban yang akan memuaskan kepada Kanjeng Kyai. Tetapi jawaban yang akan memuaskan itu tentu jawabannya yang berbuat. Oleh karena itu, pendapat saya, yang jaga diwaktu kemarin ditugaskan untuk mencariyang berbuat sampai dapat. Kala tidak dapat mereka yang bertanggung jawab.” “Yah sudah, Khatib Amin terima kasih. Sekarang boleh

pulang.Tidak selang berapa hari penjaga yang bertanggung jawab lantas menghadap kepada Kanjeng Kyai Panghulu melaporkan bahwa orang-orang yang sama berbuat telah diketemukan nama-namanya, tetapi tidak dapat membawa mereka di hadapan Kanjeng Kyai yang lebih baik supaya utusan orang lain yang disegani oleh mereka. Adapun nama nama itu ialah si Fulan, si Fulan dan si Fulan. Kanjeng Kyai Panghulu menerima laporan penjaga yang menerangkan nama-nama yang sama berbuat itu beliau terkejut sungguh dahsyat sekali. Dan menggeleng-gelengkan mustaka-nya (kepala) karena tidak dikira-kirakan bahwa yang berbuat itu diantaranya dua orang pemuda kerabatnya sendiri yang disayangi. Kemudian Kanjeng Kyai Panghulu mengutus orang lain memanggil mereka bersama ke nDalem Pengulon dan pemuda itupun bersegera menghadap dengannbersatu hati, akan mengaturkan barang sebenarnya yang telah diperbuat. Kemudian setelah mereka tiba dihadapan Kanjeng Kyai Panghulu, diperintahkan duduk, lalu ditanya dengan secara kekeluargaan: “Hai anak anakku yang kucintai dan kusayangi, benarkah kamu bertiga yang berbuat menggaris lantai Masjid dengan kapur itu ? “ “Ya, benar”. “Apa maksudmu menggaris Masjid yang demikian itu?” “Maksud saya supaya orang shalat menghadapkan kiblat yang benar!” “Apakah kiblatnya Masjid itu tidak atau kurang benar?” “Menurut orang yang ahli dalam ilmu cakrawala, memang benar Masjid Besar itu kiblatnya tidak tepat menuju ke tanah suci Makkah!” “Siapa orang ahli dalam ilmu Cakrawala itu?” “Semua bangsa ada mempunyai keahlian dalam ilmu itu. Cuma bangsa Jawa dan kaum musliminnya belum banyak yang mempunyai keahlian dalam ilmu itu. Kecuali satu dua orang saja yang sudah mempunyai keahlian dalam ilmu itu, tetapi bangsa Jawa dan kaum musliminnya masih tidak percaya karena kebodohannya.” “Ya, sekarang saya beri ampun, tetapi kalau sekali lagi kamu berbuat seperti itu, tidak ada ampun lagi! Sekarang boleh pulang.” Mereka lalu sama meninggalkan tempat, tetapi setelah keluar dari komplek nDalem Pengulon sama tertawa bisikbisik seolah-olah gembira karena diampuni kesalahannya dan bebas. Demikianlah kesan dari pada Munadzarahnya para alim ulama yang membahas soal kiblat bagi kaum Muslimin tanah Jawa pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Bagi mereka yang sadar makin kuat keyakinannya dan bagi yang beku (jumud) tetap pada kebekuannya, tetapi keadaan suasana tenang tidak ada heboh diantaranya. Berjamaah di Masjid Besar makmumnya macam dua kiblatnya.

KHA. Dahlan Membangun Suraunya

Dalam keadaan suasana yang tenang dan aman pada bulan Rajab Je, 1313 H, atau ± 1899 Miladiyah, KHA. Dahlan membangun surau tinggalan almarhum ayahandanya, yang kecil dan sudah tua hendak diluaskan dan diperindah, serta dikiblatkan menurut pengetahuan dan keyakinannya. Dan dipertangguhkan sedapat mungkin bulan Ramadhan sudah selesai diramaikan untuk sembahyang Tarawikh dan men-darus sebagaimana biasa yang sudah berlaku pada tahun yang sudah-sudah. Tidak dengan diduga dan sangka pada tanggal 14 bulan Ramadhan itu jam 9 pagi tiba-tiba datang seorang utusan dari Kawedanan Pengulon membawa perintah untuk KHA. Dahlan dengan mondeling (lisan), perintah itu diucapkan karena berbahaya besar. Perintah itu belum didengar KHA Dahlan sudah terkejut dan berdebar-debar. “Ada apa, Man?” “Kyai, sebelum perintah Kawedanan Pengulon saya sampaikan, saya harap Kyai bersedia hati yang sabar dan tenang. Perintah Kanjeng Kyai Panghulu Haji Muhammad Khalil Kamaludiningrat, ini hari supaya surau Kyai dibongkar/ dirobohkan. Kyai Panghulu tidak idzinkan berdirinya surau yang sifat dan bentuknya semacam itu, yakni yang kiblatnya menuju ke arah Ainul qiblat, seperti yang ada sekarang.” Kyai Dahlan seketika tidak menjawab, karena merasa terpukul jiwanya dengan pukulan yang amat keras. Jawabannya, “Inna lillahi wa ina ilaihi raji’un. La khaula wala quwwata illa billahil aliyyil adziem”, dengan berkembeng-kembeng/berlinang-linang air matanya mengalir ke wajahnya, seraya menjawab; “Paman, haturkanlah kepada Kanjeng Kyai Panghulu H.M. Khalil Kamaludiningrat, bahwa Khatib Amin H.A. Dahlan tidak dapat melaksanakan perintah itu, karena perintah itu sifatnya dholim. Karena kami tidak merasa berdosa melanggar Undang-Undang Negara dan Undang-Undang Agama.” Utusan itu kembali dengan pilu hati dan gelisah, menghaturkan jawaban itu kepada Kanjeng Kyai Panghulu

sebagaimana mestinya Kanjeng Kyai Panghulu menerima jawaban yang dihaturkan oleh utusan itu sangat murkanya karena merasa dicemoohkan perintahnya, lalu berkata: “Khatib Amin tidak mau melaksanakan perintahku itu?” Bukan tidak mau, tetapi tidak bisa melaksanakan perintah tersebut. “Ayo, sekali lagi kau perintahkan, kalau tidak mau nanti orang-orang dari pemerintah Kawedanan Pangulon yang akan melaksanakan pembongkaran merobohkan suraunya Khatib Amin.” Utusan kembali memberitahukan kepada KHA Dahlan bahwa apabila tidak dapat melaksanakan pembongkaran suraunya, maka pemerintah Kawedanan Pangulon yang akan membongkar merobohkannya. KHA. Dahlan tetap teguh pendiriannya, tidak dapat melaksanakan pembongkaran dan merobohkan suraunya. Adapun pemerintah yang akan melaksanakan terserah. Utusan menghaturkan laporannya kepada Kyai Panghulu, lalu diperintahkan memberitahu, bahwa pembongkaran suraunya akan dijalankan nanti malamsehabis shalat Tarawih.KHA. Dahlan setelah menerima pemberian tahu yang terakhir, sejak senja sudah meninggalkan rumahnya, kemana perginya keluarganya tidak mengerti, karena tidak sampai hati melihat perbuatan lalim yang kejam dan buas meliwati batas kemanusiaan.Jam 8 persis malam tanggal 15 Romadlon kuli-kuli dari Kawedanan Pangulon, lebih kurang 10 orang yang dikepalai oleh yang gagah dan besar tubuhnya serta brutal tabiatnya, sudah sama datang di halaman surau KHA. Dahlan dengan siap alat-alatnya untuk merumbak dan meruntuh surau itu, sedang orang yang sembahyang tarawih belum selesai, mereka ramai cerewet seolah-olah sengaja mengganggu yang sembahyang tarawih tersebut. Setelah selesai orang sembahyang tarawih dan imam sedang mendoa, kepala rombongan berteriak memerintahkan, “Ayo, lekas bubar, surau ini akan dibongkar dan saya robohkan.” Orang tarawih semua terkejut, melihat kuli sudah serempak dengan alat-alat senjatanya, orang banyak menjadi heran dan bingung, karena mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa yang terjadi pada sebelumnya (perkaranya). Cuma karena melihat sikapnya para kuli-kuli dan kepala sangat kalap, sangat biadab dan sama memegang senjata untuk menghancurkan surau yang baru dan indah itu, mereka menjadi salah sangka sehingga mereka sama berlari dan berteriak: “Wong ngamuk, wong ngamuk, wong ngamuk!” dan mereka kuli-kuli tetap terus membongkar surau itu secara biadab dan sewenang-wenang sedang kepalanya mengejar orang yang berseru “Wong ngamuk, wong ngamuk, wong ngamuk!”. Surau ambruk, genteng kayu berserak-serakan ditimbun runtuhan tembok dan batu memenuhi halaman surau dan rumah tangganya KHA. Dahlan. Perbuatan itu dijalani dengan bersemangat yang gembira dan bila ada barang yang besar jatuh dari atas mesti dibarengi dengan sorak yang meriah seolah-olah merupakan suara rampok dan grayak yang dapat kemenangan besar. Tidak insyaf sedikitpun bahwa perbuatannya sesungguhnya bukan merobohkan suraunya KHA. Dahlan tetapi pada hakikatnya merobohkan agama Allah, ialah agama Islam. Allahu akbar! La haula wa la quawwata illa billah. Jam 1.30 lepas tengah malam kuli-kuli dan kepalanya meninggalkan tempat dengan gembira dan bebas zonder halangan suatu apa. Jam 4 menghadapi fajar menyingsing KHA. Dahlan baru datang dari perginya sejak senja kemarin karena merasa tak dapat melihat apa yang terjadi terhadap suraunya yang sedang disyukuri karena barunya, tidak disangka-sangka surau itu menerima nasibnya yang berbahaya dan binasa. Sedangnya di rumah, KHA. Dahlan kelihatan lesu lesah dan gelisah tidak dengan bicara beliau mengambil koper dan pakaiannya kelihatan bersiap-siap meninggalkan rumahnya. Nyai H. Dahlan terkejut dan bertanya: “Kyai, sampeyanniku ajeng teng pundi ?” (Kyai itu hendak kemana?). “Hendak pergi.” “Lho, kesah dateng pundi”. (Lho, pergi kemana?) “Pergi ke luar Yogyakarta!” “E, la, kulo dos pundi?” (E, la,saya bagaimana?) “La apa kamu mau turut ?” “La, ya, saya turut!” “Ayo, lekas-lekas bersiap, nanti habis sembahyang Shubuh terus berangkat.” Nyai H.A. Dahlan sibuk bersiap membawa pakaiannya sekedar cukupnya saja, tak perlu banyak-banyak. Habis sembahyang Shubuh lalu panggil budaknya suruh membawa kopernya menuju ke Stasion Tugu. Tetapi oleh karena pada masa itu belum ada kendaraan yang keluar untuk mengangkutnya, terpaksa Kiyai dan Nyai H.A. Dahlan berjalan kaki dari Kauman ke Stasiun Tugu. Sudah tentu saja perjalanan Kiyai harus mengikuti jalannya Nyai. Sampai di Stasion, spoor yang dimaksud sudah meninggalkan Stasion. Kyai dan Nyai duduk termenung menunggu kereta spooryang akan berangkat yang kemudian.

Keadaan di Rumah KHA. Dahlan

K.H . M. Shaleh, kakak ipar KHA. Dahlan yang rumahnya berdampingan, biasanya sembahyang Shubuh di surau yang dihancurkan itu, tetapi karenanya maka beliau terpaksa sembahyan Shubu di Masjid Besar. Sepulang dari Masjid melalui rumah KHA. Dahlan melihat pintu-pintu dan jendelanya masih tertutup semuanya beliau menduga bahwa KHA. Dahlan meninggalkan rumahnya. Lalu memberi tahu kepada istrinya Nyai H. Shaleh, bahwa KHA. Dahlan dengan istrinya meninggalkan rumah. Nyai Shaleh terkejut, lalu membuktikan bahwa keadaannya memang benar. Lalu berteriak kepada suaminya supaya lekas-lekas disusul ke Stasiun (Tugu) bersama, justru kebetulan ada kendaraan lewat, lalu dihentikan untuk mengantarkan K.H. M. Shaleh dan Nyai dengan pesan supaya cepat-cepat jalannya. Setelah berdua di atas andong lalu kusir menyambuk kudanya, dan andong berjalan dengan secepat mungkin. Setelah andong sampai di muka Stasiun, lantas turun terus masuk ke Stasiun melihat KHA. Dahlan dan Nyai masih duduk termenung menunggu. Nyai H. Sahleh cepat-cepat menuju ke arah adiknya terus memeluk adiknya dengan tersedu-sedu mengajak kembali pulang ke kampung Kauman.“Apa perlunya, Mbakyu, saya pulang? Sebab saya tidak senang hidup di kota Yogyakarta, karena saya tidak merdeka menjalankan agama yang sebenar-benarnya dalam kota ini. Apalagi kalau saya melihat bangke Surau kita yang diobrak abrik oleh penghianat-penghianat yang tidak mengenal agama, yang sekarang bangke itu berserakan memenuhi halaman surau dan rumah saya.” “O, Allah, adikku, jangan kamu rasakan sangat-sangat rasamu yang susah dan gelisah itu, aku yang akan membangun suraumu dengan lebih baik dan lebih bagus daripada yang sudah dihacurkan oleh penghianat itu. Adapun rasa kesempitan menjalankan agama yang sebenar- benarnya itu Allah subhanahu wa ta’ala yang akan memberi taufiq dan petunjuk kepadamu, janganlah berkecil hati. Insya Allah. Ayuh mulih (ayo pulang).” KHA. Dahlan merasa ridla hatinya didesak oleh Mbakyunya dengan kata-kata tabah dan kesanggupan yang gagah, pulanglah KHA. Dahlan dan Nyai dengan Mbakyu dan kakak iparnya K.H. M. Shaleh. Alhamdulillah. Tidak selang berapa hari Nyai H. Shaleh memerintahkan orang-orangnya untuk membersihkan halaman surau dan rumah KHA. Dahlan, menyuruh bangunkan kembali bangunan surau di tempat yang sudah seperti bangunan yang dihancurkan oleh penghianat itu. Dan tidak berapa bulan surau sudah berdiri kembali seperti yang sudah, hanya tidak berkiblat seperti yang runtuh. Kemudian KHA. Dahlan melanjutkan pengajarannya kepada santri-santrinya sebagai sediakala.

KHA. Dahlan Pergi Haji yang Kedua Kalinya

Setelah kurang lebih dua tahun enam bulan KHA. Dahlan melanjutkan mengajar di surau sebagai sediakala, makin lanjut pengajarannya makin merasa kurang cukup pengetahuan yang telah dimiliki dalam dadanya. Maka terbayanglah dalam angan-angannya keadaan di negeri suci Makka Musyarrafah banyak ulama-ulama besar dari berbagai bangsa yang mengajarkan rupa-rupa ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi Agama Islam. Dari bangsa Arab Makkah sendiri, bangsa Meshir, bangsa India (Pakistan), bangsa Buchara dan lain-lain bangsa, pun bangsa Indonesia banyak juga yang sudah lama mukim di Makkah untuk belajar dan mengajar sambil beribadat di Masjidil Haram (tanah haram) yang sangat berarti bagi dunia Islam di muka bumi Allah yang luas itu. Pada tahun 1903 KHA. Dahlan berangkat ke Makkah dengan membawa putranya Muhammad Siradj yang sedang berumur 6 tahun. Pada tahun itu beliau dengan putranya dapat mukim di negeri suci Makkah 18 bulan, satu setengah tahun. Dan dapat berguru kepada beberapa guru spesialisten.Dalam ilmu Fiqh berguru kepada Kiyai Machful Tremas, Kiyai Muhtaram Banyumas, Syaikh Shaleh Bafadhal, Syaikh Sa’id Jamani, Syaikh Sa’id Babusyel, Mufti Syafi’i dalam ilmu Hadis. Kiyai Asy’ari Baweyan dalam ilmu Falq (Cakrawala). Syaikh Ali Mishri Makkah dalam ilmu Qira’at. Dalam masa 18 bulan di Makkah itu selain dapat bertambah beberapa ilmu pengetahuan spesialisten yang dipelajari bertambah pula kawan kawan dari bangsa Indonesia yang semaksud. Seperti Syaikh Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kiyai Nawawi dari Bantan, Jawa Barat. Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih Maskumambang dari Gresik dan lain sebagainya. Sesudah selesai ibadah haji yang dalam 18 bulan di Makkah itu KHA. Dahlan dan putranya Muhammad Siradj lalu meninggalkan Makkah pulang ke tanah airnya. Setibanya di tanah air, di rumah melanjutkan pengajaran kepada murid-muridnya dan kaumnya di kampung dan kampung tetangganya sebagai sediakala, malah ditambah dengan menegakkan kombong (asrama untuk menerima murid-murid dari luar kota dan luar daerah. Datang juga murid dari Pekalongan, dari Batang, dari Magelang, dari Solo dan Semarang. Dari luar kota Yogyakarta, datang juga dari Bantul, dari Srandakan, Brosot dan Kulon Progo. Lurah pondoknya ada 2 orang, Muh Jalal Suyuti dari Magelang dan Kyai Abdul Khaliq yang nama tuanya K.H. Abu ‘Amar di Jamsaren Solo. Pondok yang ramai dan meriah dikunjungi murid-murid dari luar kota dan daerah itu merupakan kemajuan dalam dunia kekiyaian. Pun KHA. Dahlan membukakan beberapa balagh kepada muridnya diantaranya Balagh Ilmu Falaq (Cakrawala). Ilmu ini adalah salah satu spesialitait-nya KHA. Dahlan yang paling populair di tanah Jawa dan Madura pada waktu itu. Tetapi setelah KHA. Dahlan membaca kitab-kitab berjiwa Tamaddun dari luar negeri, diantaranya tafsir Qur’an Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Jamaluddin al-Afgani, Imam Ghazali, Rasyid Ridla, Thantawi Jauhari dan lain-lain sebagainya. Yang tentu saja kitab-kitab itu tidak ditelaah dengan sepintas lalu tetapi difahami dengan sesempurna-sempurnanya. Tetapi yang dilahirkan menjadi perhatian, dari Imam Ghazali ayat dalam Ihya Ulumuddin yang berbunyi: “Fasadur ra’iyati min fasadil muluk, wa fasadul muluki min ulama-issuk”, yang maksudnya, “Rusaknya rakyat adalah dari rusaknya para rajaraja, dan rusaknya raja-raja itu dari ulama yang suuk (buruk)”. Ayat ini setelah difikirkan dengan fikiran yang sehat, lalu ditafsirkan dengan tafsiran keadaan masyarakat yang realitasnya sudah bejat dan bobrok hukum halal haram sudah lenyap, apa lagi wajib sunat sudah musnah. Tetapi para ulama masih tega nongkrong di atas singgasana ulama shalih. Sifat suka lempar melempar diantara para ulama satu sama lain. Pendek kata, mereka masih sama mengingkari kata Imam Ghazali tersebut. Allahu Akbar. Daripada Yang Mulia almarhum Asy-syaikh Muhammad Abduh, ketemu satu kata kalimat yang sangat jitu, ialah “Al- Islamu Muhajubun bil Muslimin” (Agama Islam itu tertutup dengan orang Muslimin). Kalimat yang kecil ini memang sungguh tepat sekali ditafsirkan dengan keadaan kaum Muslimin Indonesia pada umumnya dan tanah Jawa pada khususnya. Apalagi kalau ditambah dengan katanya: “Laisal Islamu illa ismuhu, wa laisal Qura’nu illa rasmuhu”, yang maksudnya, “Tiada agama Islam kecuali tinggal namanya, dan tiada kitab Al-Qur’an kecuali tinggal tulisannya”. Memang pada masa itu keadaan umat Islam, kaum muslimin, sungguh amat menyedihkan, karena keadaan umat Islam di Yogyakarta pada umumnya sangat dhoif dan jiwanya diliputi rasa rendah diri, dan Islamnya memang sudah sejak lama dicampuri dengan animisme yang sebesar besarnya. Sehingga animisme itulah yang dipandang amalan Islam dan ditambah takhayul dan khurafat, hanya sholat lima waktu dan puasa yang masih merupakan sifat agama Islam yang asli. Daripada pujangga Islam modern Syaikh Tonthowi Jauhari terdapat kalimat dalam kitabnya “Al-Qur an wal‘ulu mil shriyah” yang berbunyi Idza dlollatil ulamau wal umaru anis-sawa-issabil, la jahtadil alimu almuta’allima”. Yang maksudnya, apabila sudah sesat para ulama dan umara (pemerintah) daripada jalan yang benar, maka tidak ada orang alim dapat menunjukkan jalan yang benar kepada murid-muridnya. Dari Tonthowi Jauhari ini dapat dimengerti bahwa pokok sumber masyarakat itu baik dan buruknya adalah dua golongan: para guru dan wakil-wakil pemerintah yang menggembala rakyat. Tentu saja KHA. Dahlan mentalaah kitab-kitab yang bertamaddun itu tidak hanya itu saja, tetapi lazimnya tentu banyak kitab-kitab yang mendorong jiwa beliau menjadi hangat untuk bergerak. Tetapi sayang, pondoknya yang sedang berkembang biak dan banyak santri-santri yang datang dari luar daerah untuk turut mengikuti balagh yang dibaca oleh beliau. Pada tahun 1907, di kota Yogyakarta berdirilah suatu persyarikatan Nasional yang memakai nama “Boedi Oetomo”, tempat kedudukannya di Yogyakarta. Persyarikatan ini dibangun dan dipimpin oleh Dr. Wahidin Sudiro Husada, Yogyakarta. Dan diikuti para sarjana golongan yang terpelajar, ialah para guru sekolah menengah Gouverment Belanda, misalnya Kweekschool, Normaal School, Opleidingschool OSVIA dan H.K. School. Diantara yang kami kenal R. Budiharjo, R. Dwijosewoyo, R. Ngabei Sosrosugondo, Pangeran Notodirejo Pakualaman, R.M. Gondoatmojo dan lain-lain. Yang kami tidak kenal namanya semua itu duduksebagai Hoofd Bestuur Boedi Oetomo. Maksud dan tujuannya dengan ringkas memajukan soal onderwijs (pendidikan). KHA. Dahlan sangat gembira mendengar bahwa di Yogyakarta ada berdiri suatu persyarikatan yang menuju kepada kemajuan Nasional. Tetapi beliau belum mendapat berita yang konkret kemajuan ke arah mana yang dimaksud.Beliau ingin sekali akan mengetahui selanjutnya, tetapi saying terkecewa karena satu dari pada mereka para Pengurus BudiUtomo seorangpun belum ada yang dikenal, sehinggakeinginan itu terhenti karenanya. Alhamdulillah, Tuhan akan memberikan taufiq danhidayatnya kepada yang dikehendaki-Nya. Seorang yang terdekat dengan ketua Boedi Oetomo (Dr. Sudiro Husodo) sebagai pembantunya dalam pekerjaannya kedokteran, ialah Sdr. Mas Joyosumarto. Beliau ini banyak kenalan dan family dari penghuni kampung Kauman, maka diharap oleh KHA. Dahlan apabila meninjau famili di Kauman mampirlah di rumah KHA. Dahlan. Setelah harapan itu disampaikan kepada yang bersangkutan, Mas Joyosumarto terkejut dalam batinnya, ada apa KHA. Dahlan mengharapkan kami, tentu hal yang sangat penting. Mas Joyosumarto lalu memperlukan datang untuk memenuhi harapan. Pada hari Minggu bagi Mas Joyosumarto adalah hari prey digunakan datang kepada KHA. Dahlan di rumahnya yang kebetulan sedang senggang waktu. “Mari tuan, silahkan duduk!” Demikian kata sambutan KHA. Dahlan sambil bertanya, “Tuan dari mana?” “Saya Joyosumarto, dari Dagen Yogyakarta.” “Wah, sudah lama kami harapkan bersua dengan panjenengan. Alhamdulillah, dengan gembira dan suka hati, panjenengan kersa rawuh di rumah kami.” “Inggih Kyai,memang kami perlukan untuk memenuhi harapan Kyai. Adakepentingan apa yang dimaksud.” “Saudara Mas Joyo, saya mendengar berita yang didengar oleh orang banyak, bahwa katanya di Yogyakarta ini sekarang ada perkumpulan yang berdiri, namanya Boedi Oetomo yang dibangun dan dipimpin oleh Sdr. Dr. SudiroHusodo, sedang Sdr. Joyo seorang yang paling dekat dengan beliau, kami ingin dapat peneranganan yang sejelas-jelasnya, tetapi karena kami belum mengenal kepada para anggauta pengurus H.B. Boedi Oetomo yang terdiri daripada orang-orang yang terpelajar dan cerdik pandai. Sedang kami seorang yang asing daripada mereka dalam pengetahuan dan mereka asing juga dari kami tentang itu, apakah mungkin kami dapat berkenalan dengan mereka dan sebaliknya mereka dengan kami?” Bapak Joyosumarto dengan hati-hati menjawab pertanyaan KHA. Dahlan yang agak panjang itu, dengan jawaban yang menggembirakan; “Kyai, perkumpulan BoediOetomo itu perkumpulannya bangsa kita, didirikan dan dibangunkan oleh kita untuk memajukan bangsa kita (Bumiputra). Jadi Kyai tak usah kecil hati, khawatir tidak diterima untuk mengenal, apa pula sebagai Kyai tentu akan diterima dengan gembira dan besar hati oleh mereka. Pendek kata, nanti kami hubungkan (haturkan) lebih dahulu hendaknya saling mengerti.” “Baik,” kata Kyai. Pembicaraan dilangsungkan sampai memuaskan bagi Kyai dan beliau merasa gembira besar hati, dan mengharapkanberita selanjutnya kepada Mas Joyosumarto. Kemudian jam sudah menunjukkan jam 12.15, Mas Joyo minta diri, Kyai pun mengucapkan terimakasih banyak. Di situlah kelihatan sifat kaum santri yang rasa rendah diri terhadap golongan terpelajar yang lain. Sejak KHA. Dahlan bertemu dengan Mas Joyosumarto, selalu merenung-renung bagaimana cara akan dapat mengambil faedah yang lebih besar daripada mereka. Dan lebih berguna juga bagi mereka. Maka, selama merenungkan memecahkan maksud yang terkandung dalam hatinya itu KHA. Dahlan lantas kuran membuka kitabnya di surau yang dihadapi murid-muridnya pada tiap waktu yang ditentukan. Sehingga satu demi satu yang datang dari luar daerah sama meninggalkan pondok dan suraunya, tinggal murid-murid yang datang dari luar kota Yogyakarta. Apalagi setelah menerima berita baik dari Bapak Joyosumarto, bahwa para anggota Pengurus Boedi Oetomo dengan segala senang hati akan menerima perkenalan seorang Kyai yang terkemuka dari kampung Kauman, sehingga beliau diharapkan dapat datang di hari Sabtu malam Minggu dalam siding Pengurus yang akan diterima sebagai tamu yang luar biasa untuk berkenalan saja. Kemudian setelah ada waktu yang ditentukan oleh Pengurus Boedi Oetomo, KHA. Dahlan pun memenuhi ketentuan itu pada saat dan tempat yang telah dipastikan. Pada pertemuan perkenalan ini diadakan di rumah ketua Mas Dr. Sudiro Husodo di Ketandan Yogyakarta. Kedatangan KHA. Dahlan dalam sidang Pengurus Boedi Oetomo ini diterima dengan gembira dan segala senang hati sebagai kawan sendiri yang lama tidak bersua. KHA. Dalan pun demikian juga diterima dengan sikap yang ramah tamah dan meriah itupun seolah-olah rasa ragu dan bimbang yang menimbulkan rasa malu dan cemas terhadap beliau-beliau itu lenyap dari padanya. Bahkan dapat dimengerti bahwa jiwanya beliaubeliau itu kebanyakan masih kelihatan utuh sebagai kau muslimin dalam pengakuannya.Setelah dua tiga kali KHA. Dahlan menghadiri rapat pengurus Boedi Oetomo, makin jelas dan makin terang akan maksud dan tujuannya Boedi Oetomo dan tertarik karena cocok dengan fikiran beliau, lalu mencetuskan rasa hatinya menyeburkan dirinya menjadi anggota Boedi Oetomo, serta sanggup memenuhi tugas yang dibebankan oleh Boedi Oetomo sekedar kecakapannya. Maka cetusan rasa hatinya itu diterima dengan baik dan gembira, bahkan kalau tidak keberatan, turut serta duduk di anggota Pengurus Boedi Oetomo. Beliau dapat pelajaran cara membentuk persyarikatan dan menyusun anggota pengurus-pengurusnya dan lain-lain yang bersangkutan dengannya. Pun dapat pula memberikan penerangan Islam dengan secara akliyah, ilmiyah dan naqliyah-nya dengan bahasa Jawa, diwaktu sehabis rapat pengurus B.O. ditutup. Jadi sifatnya sebagai ramah-tamah, tidak sebagai pelajaran. Dengan demikian para pengurus B.O. dapat menerima keterangan Islam malah agak mendalam, dengan wajar. Setelah berjalan beberapa minggu penerangan Islam secara sistim yang demikian itu dapat diterima dengan gembira dan senang hati oleh para guru sekolah menengah Gouvernement. Kemudian KHA. Dahlan mengajukan pertanyaan kepada para guru-guru tersebut, adakah para guru sependapat andaikata penerangan Islam sebagai ini diberikan kepada para siswa Kweekschool (yang dulu disebut Sekolah Raja) di Jetis Yogyakarta? Para guru sependapat, itu soal yang sangat mudah, karena menurut peraturan siswa sekolah, di sekolah pemerintah itu boleh diberi pelajaran agama kalau para siswa itu memang membutuhkannya. Tetapi tidak dapat menentukan ikut sertanya kepada yang tidak membutuhkan dan tidak boleh mengurangkan waktu pelajaran yang dinasmenjadi mata pelajaran dalam sekolah itu, tetapi kekuasaan tentang itu, ada di tangan Hoofd Inspectuur. “Demikian saja Kyai, besuk saya tanya kepada siswa siswa yang ada di klas saya, adakah mereka itu suka menerima pelajaran agama Islam secara sistim baru, kalau ada sebagian yang suka, saya akan berunding dengan Hoofd Inspectuur. Bilamana berhasil saya kasih kabar kepada Kyai.” Demikian kata Raden Budiharja, Kepala Guru Sekolah Raja Yogyakarta. KHA. Dahlan merasa gembira dan besar hati bergaul dengan kawan-kawan para cerdik pandai, karena selalu dapat bantuan moril dan tenaga untuk mencapai maksudnya, ialah menyampaikan seruan agama kepada para siswa di sekolahsekolah menengah Gouvernement yang pada mulanya dipandang sebagai kesukaran besar yang harus ditempuh. Tetapi dengan usaha bantuan kawan-kawan tersebut semuaitu menjadi beban yang ringan.

KHA. Dahlan Membuka Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah

Karena besar hasrat dan semangatnya KHA. Dahlan yang sedang sibuk merencanakan program kerja, melaksanakan pelajaran agama kepada para siswa sekolah menengah Gouvernement, tetapi tidak lupa memikirkan nasibnya anak anak santri Kauman yang masih sangat liar kepada pelajaran secara sekolah. Walaupun tidak kurang sempit balai rumah tangganya, namun sekolah itu dilaksanakan juga, sekalipun dengan secara kecil yang tidak dapat menerima murid banyak. Yaitu di ruang kamar tamu yang selebar ± 2,5 x 6 meter, dengan kamar tamunya. Dengan tiga meja dan tiga bangku sekolah yang terbuat dari kayu jati putih dari luar negeri, yakni kayu bekas peti kain putih (muslim) serta satu papan board dari kayu suren. Maklumlah, sekolahan itu dilaksanakan oleh kekuatan tenaga dan fikiran serta bendanya KHA. Dahlan tanpa sokongan orang lain, walaupun setengah sen. Sekolahan itu muridnya terdiri dari pada anak keluarga KHA. Dahlan sendiri, gurunya beliau sendiri juga. Muridmurid terdiri sembilan orang anak pada permulaannya. Kalau sudah tambah tiga orang murid, baru ditambah satu meja dan satu bangk sekolah lagi. Sedikit demi sedikit berjalan terus, menginjak bulan yang keenam murid sudah mendekati bilangan 20 orang anak. Mulai bulan ketujuh sekolahan itu dapat sumbangan guru umum dari Boedi Oetomo, terdiri dari pada aspiran guru tamatan Kweekschool yang belum menerima penetapan dari Gouvernement, dengan saling berganti, diantaranya ada yang sebulan ada yang satu setengah bulan paling lama ada yang dua bulan. Sejak kelihatan bentuk sekolahan yang dipimpin KHA

A. Dahlan, beliau didakwa nyeleweng daripada Islam oleh para penghuni kampung Kauman, terutama para saudara dan handai taulan yang sama beku fikirannya, karena hanya mendengar pelajaran keseniannya made in Barat. Yaitu, yang didengungkan oleh anak-anak yang kalimatnya berbunyi sol la si do re mi fa sol dan seterusnya dan lain-lain ala Barat. Dan kesenian santri Kauman, seperti Marhaban- marhaban, jalil-jalil dan lagu-lagu burdah makin sunyi, terutama suara anak menderas Al-Qur’an diwaktu pagi dan sore sudah tidak terdengar lagi di telinga mereka yang jumud- jumud sampai menuduh bahwa KHA. Dahlan sudah murtad, sudah Kristen dan lain sebagainya. Bahkan, banyak diantaranya bekas murid mahasiswanya yang dahulu sangat percaya dan menghargai pengajarannya sekarang sudah mengolok-olok dan mencemoohkan. KHA. Dahlan pun mengerti dan mengetahui siapakah yang demikian itu, tetapi beliau senyum saja pada batinnya, karena yang demikian itu memang sudah lazimnya tiap-tiap orang berani bekerja membangun dan memperbaiki agama Islam harus mendapat cacian olok-olokan dan malah mungkin dikafirkan dari agama yang diperbaikinya. Yang demikian itu tidak perlu dilayani dengan dibantah dan dimurkai serta dibenci. Tetapi cukuplah dibiarkan dan dilayani dengan tenang dan sabar, tentu mereka dengan sendirinya akan mengerti dan insyaf di hari mendatang. KHA. Dahlan tiap-tiap hari Minggu sejak pagi dikerumuni para siswa sekolah Kweekschool yang diberi pelajaran agama Islam pada tiap-tiap hari Sabtu sore. Siswasiswa mana bukan saja siswa yang terdiri dari anak-anak Islam, tetapi anak Kristen, anak Katolik, anak Theosofi dan lain-lain ideologi yang bukan Islam. Mereka memang anak cerdas otaknya, tidak dapat menerima keterangan-keterangan yang belum atau tidak cocok dengan jalan akal fikirannya. Memang KHA. Dahlan bermaksud yang demikian itu. Oleh karenanya pada tiap hari Minggu merupakan Diskusi Agama dengan para siswa Kweekschool di Yogyakarta. Selama itu diantara siswa tersebut ada yang mengambil perhatian keadaan di tempat itu, terlihat meja dan bangku sekolah serta board-nya. Ia menyatakan kepada Kyai. “Kyai, apakah di sini tempat sekolahan? Sekolahan apakah yang ada di sini itu?” “O, Nak, ini Madrasah Ibtidaiyah Islam untuk memberi pelajaran agama Islam dan pengetahuan umum, bagi anak-anak kita kampung Kauman.” “Siapakah yang memegang dan siapakah yang menjadi gurunya Kyai?” “Yang memegang dan menjadi guru agamanya ya saya.” “Apakah tidak lebih baik kalau sekolah itu dipegang oleh Kyai sendiri, sebab itu tiap-tiap tahun harus naik kelasnya, sampai beberapa kelas, yang dimaksud. Jadi seolah-olah sekolahan itu milik Kyai sendiri, maka apabila Kyai meninggal dunia ahli waris tidak mampu meneruskan terhentilah sekolah itu. Sebagaimana pondok-pondok Kiyai bila Kiyainya telah wafat lalu santrinya bubar. Maka dari itu, kami usul, hendaknya sekolah itu dipegang oleh suatu organisasi hinggamdapat langsung selama-lamanya.” KHA. Dahlan agaknya terharu mendengar kata-kata seorang siswa itu, dengan perhatian menyambut, “Organisasi itu apa?” “Organisasi itu suatu golongan manusia yang semaksud dan teratur disusun sebagai suatu badan yang sahdengan izin pemerintah (gouvernement) Hindia Belanda umpamanya seperti perkumpulan Boedi Oetomo yang sekarang sudah berdiri di Yogyakarta!” KHA. Dahlan mengangguk-anguk mustaka-nya menunjukkan sangat haru batinnya. Dengan menyatakan, “Itu baik sekali dan saya catat dalam sanubariku dengan tinta emas.” Siswa yang menyarankan itupun kelihatan gembira dan besar hati. Memang demikianlah adat istiadat dan tabiat KHA. Dahlan, sangat menghargai kata-kata yang bernilai walaupun dari siapapun itu orang besar atau orang kecil yang kata-katanya bernilai dan bermutu, juga dihargai sebagaimana mestinya. Sejak itu KHA. Dahlan selalu merenungkan betapa akan membentuk suatu badan perkumpulan, karena pandangan beliau dengan melihat para pengurus Boedi Oetomo yang terdiri daripada beberapa orang terpelajar, sedang di sampingnya beliau tidak ada yang demikian itu. Tetapi hasrat hendak melaksanakan persyarikatan itu sangat besar. Sehingga keluar kata-kata dari renungan hatinya, menggambarkan betapa bentuk dan sifatnya dari renungan hatinya, menggambarkan betapa bentuk dan sifatnya persyarikatan yang dapat meliputi kemajuan Islam yang berarti dihadapan anak buahnya yang sering beramah tama dengan beliau secara kebetulan saja, dan tidak diundang. Sebenarnya dengan secara demikian itu, tidak sekali dua tetapi berkali-kali bila ada dua atau tiga orang yang datangnmenghadapnya. Sehingga disarankan oleh mereka untuk mencoba, selain dari itu yang ada pada sekarang ini,nditambahkan dengan mereka para siswa dari Kweekschool yang agak besar dan cerdas otaknya supaya mendampingimkita orang Kauman dalam pengurus persyarikatan yang kita maksud itu. KHA. Dahlan menjawab, “Kamu sanggup ikut serta duduk dalam pengurusnya perkumpulan itu?” Mereka sama menjawab, “Insya Allah”. “Baiklah kita beristikharah, mudah-mudahan dapat petunjuk daripada Allah yang Maha Penyayang dan Pengasih.” Kemudian daripada itu KHA. Dahlan lantas berunding dengan Mas Budiharjo dan Raden Dwijosewoyo untuk mempertimbangkan pendapat dari kawan-kawan dan sementara pemuda yang dewasa dan bersedia membantunya Hasil pertimbangannya, dua saudara cerdik pandai tersebut di atas agak lain dengan pendapat-pendapat yang dibawa dari rumah seperti berikut:

1. Anak murid Kweekschool tidak dapat ikut serta duduk dalam pengurus perkumpulan karena dilarang oleh Hoofd Inspectuur.

2. Calon pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah berusia jangan terlalu muda.

3. Nama perkumpulan apa.

4. Maksud dan tujuan apa.

5. Tempatnya di Yogyakarta

6. Untuk melaksanakan hal ini sampai beres, Boedi Oetomo sanggup membantu moril dan tenaga, tetapi syaratsyaratnya harus diminta oleh sedikitnya tujuh anggota biasa Boedi Oetomo kepada H.B. Boedi Oetomo. Oleh karena itu dari kita tujuh anggota masuk menjadi anggota biasa Boedi Oetomo. Kemudian daripada itu lalu diadakan pertemuan di antara mereka yang sama turut memikirkan untuk membicarakan nama perkumpulan itu apa. Dan tujuannya serta siapakah yang suka masuk menjadi anggota biasa kepada persyarikatan Boedi Oetomo. Maklumlah memang pada masa itu belum seorangpun yang turut memikirkan benar-benar tentang membentuk badan organisasi yang mewujud suatu persyarikatan. Sedang kalimat organisasi itu saja baru terkeluar pada saat itu, apakah Organisasi itu sama sekali belum dapat dimengerti. Jadi, mereka itu datang tidak bersifat berunding atau musyawarah, tetapi bersifat mendengarkan cerita dari KHA. Dahlan dan disambut dengan ya, ya, saja. KHA. Dahlan menerangkan perihal nomor 2 di atas dengan singkat seperti, “Tetapi soal nama, agaknya sudah dikenang sejak lama. Yaitu Muhammadiyah, nama itu memang diambil dari nama Nabi ikutan kita, Muhammad saw. yang menjadi Nabi dan Rasul akhir zaman. Karena kami ingin men-tafaul-kan nama itu dengan nama Nabi Panutan (ikutan) kita, harapan kami mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi jamiah akhir zaman, sebagai Nabi Muhammad dan Rasul akhir zaman. Adapun ditambah dengan iyah nisbah, maksud kami hendaknya barang siapa yang menjadi Anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadinya Nabi Muhammad saw.” Demikianlah kata KHA. Dahlan tentang soal nama Muhammadiyah. Untuk melaksanakan syarat yang termasuk dalam nomor 6 di atas, dianjurkan kepada mereka yang sama hadir siapaka yang suka hati dengan ikhlas menyerbukan diri menjadi anggota persyarikatan Boedi Oetomo, buat mengajukan permintaan kepada H.B. Boedi Oetomo, buat mengusahakan berdirinya persyarikatan Muhammadiyah dan mohonkan izin Recht Persoon kepada Pemerintah Hindia Belanda. Anjuran itu diterima oleh:

1. Sdr. R. Haji Syarkawi Kauman

2. Sdr. Haji Abdulgani Kauman

3. Sdr. H.M. Syoedja' Kauman

4. Sdr. H.M. Hisyam Kauman

5. Sdr. H.M. Fakhrudin Kauman

6. Sdr. H.M. Tamim Kauman

7. Sdr. K.H.A. Dahlan sendiri

Dengan nama 7 orang tersebut memajukan surat permintaan kepada H.B. Boedi Oetomo untuk menjadi anggota biasa Boedi Oetomo dengan membayar iuran tiap bulan 0.25 gulden seorang. Setelah permintaan diterima dan diberi tanda anggota dengan sah, lalu dari 7 anggota itu memajuk permohonan kepada H.B. Boedi Oetomo untuk mengusahakan permohonan izin (Recht Persoon) kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah dengan maksud dan tujuan seperti termaktub dalam Recht Persoon Muhammadiyah 18 November 1912 dan susunan penguru yang pertama dan yang telah diumumkan dalam Suara Muhammadiyah berulangkali. (Sdr. pembaca yang terhormat. Menyimpang dari apa yang termaktub diatas, perlu saya suntingkan disini sedikit riwayat jalannya surat permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan oleh H.B. Boedi Oetomo pada masa itu. Maksudnya hendaklah sidang pembaca tahu atau mengerti keadaan masyarakat manusia dimasa itu). Setelah surat permohonan berdirinya Muhammadiyah yang diketuai oleh KHA. Dahlan (Khatib Amin) sampai di tangan Gubernuur General lalu dikirim kepada Resident di Yogyakarta. Pada waktu itu istilah ketua persyarikatan belum ada, dan yang digunakan adalah kata “President”. Dan Resident Yogyakarta minta advis Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Melalui Rykbestuur der Yogyakarta ( Pepatih Dalem Sri Sultan). Oleh karena surat permohonan itu mengenai urusan gerak Agama Islam, maka dari Rykbestuur der Yogyakarta diteruskan kepada Hoofd Panghulu H.M. Khalil Kamaludiningrat untuk dibicarakan dalam sidang Raad Agama Hukum Dalem Sri Sultan guna memberi advis. Tetapi karena Hoofd Panghulu ada kesalahpahaman dan teringat masalah 12 tahun yang lampau perihal kiblat surau, dan kata “President” yang termaktub dalam surat permohonan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah, dikira sama dengan “Resident”, menyebabkan Kiyai Hoofd Panghulu segera mengadakan sidang sore itu juga jam 4.30 sore dipendopo Pengulon. Wajah Kiyai Hoofd Panghulu dengan cahaya muka yang bersungut karena kekhilafan, memegang surat dari Rykbestuur der Yogyakarta masuk ke pendopo Pangulon. Setelah duduk di tempatnya, tanpa kata pembukaan dan menerangkan maksud dan tujuan rapat kilat Raad Agama Hukum Dalem itu, tetapi langsung mencetuskan rasa hatinya yang khilaf dengan berkobar-kobar. Dan para anggota Raad Agama Hukum Dalem diam. Akhirnya Kiyai Panghulu menghabisi kemarahannya dengan berkata “Bagaimana kawan-kawan sekaliyan, apakah surat permohonan ini disetujui atau tidak? Kalau disetujui siapa yang mau menyutujui. Yang ditanya tidak ada satupun yang menjawab. Kalau tidak ada satupun yang menjawab setuju, maka kami tetapkan Raad Agama Hukum Dalem tidak setuju. Bagaimana kawan?” Jawab sebagian dari pada anggota “Tersilah, kita mengikut.” Sesudah itu lalu surat permohonan tersebut dikirim kembali kepada Rykbestuur der Yogyakarta dengan diberi keputusan oleh Raad Agama Hukum Dalam, tidak setuju dikabulkan. Dalam pada itu diantara anggota Raad Agama Hukum Dalem ada yang namanya termasuk di dalam surat permohonan izin itu. Selama dia mendengar kata-kata Hoofd Panghulu yang sangat marah itu, hatinya gentar dan pucat cahaya mukanya karena ketakutan kalau-kalau ada akibat yang mengenai pribadinya. Setelah bubaran dari rapat kilat tersebut di atas, mereka lalu pulang dan segera membuat surat kepada Rykbestuur der Yogyakarta yang isinya mohon keluar dari anggota Muhammadiyah dan mohon dicabut ikut serta menjadi Pengurus Muhammadiyah. Setelah Rykbestuur menerima kembali surat permohonan izin mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah dari Hoofd Panghulu dengan advisnya yang tidak menyetujui berdirinya Muhammadiyah. Dan menerima suratnya seorang khatib anggota Raad Agama Hukum Dalem yang mohon keluar dari anggota Muhammadiyah dan mengundurkan diri dari Pengurus Muhammadiyah, maka dapat mengertilah Rykbestuur bahwa dalam rapat Raad Agama Hukum Dalem di Pangulon ada heboh tentang soal permohonan izin mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Lalu Hoofd Panghulu dipanggil ke kantor Rykbestuur di Danurejan untuk dimintai penjelasan apa sebabnya tidak setuju mengkabulkan permohonan itu. Setelah Hoofd Panghulu menghadap Rykbestuur di kantornya, lalu diminta penjelasannya sebab-sebabnya tidak menyetujui permohonan itu sebagai tersebut di atas. Hoofd Panghulu menghaturkan jawabannya dengan alasan yang keliru pemahamannya. “Haji Ahmad Dahlan seorang Khatib, ia mohon jadi “Residen” perkumpulan Muhammadiyah yang nanti ia akan menguasai orang-orang Islam Muhammadiyah dan lantas orang-orang Kauman itu dikuasai olehnya. Lantas bagaimana nanti orang Kauman tidak menurut perintah kami dan perintahnya negeri.” “Ooo Ki Panghulu. Jadi Ki Panghulu itu belum mengerti artinya “Resident” dan “President”? Kalau demikian, sekarang kami mengertikan bedanya Resident dengan President. Resident itu kepala negara seperti Kanjeng Tuan Resident yang sekarang ada ini. Kalau President adalah kepala golongan, umpamanya President Landraad atau President perkumpulan Boedi Oetomo dan President Muhammadiyah. Cuma memerintah di lingkungannya sendiri-sendiri dengan menurutperaturan perkumpulan itu. Tidak akan menguasai orang yang ada di luar perkumpulan. Mengerti Ki Panghulu? Sebenarnya kalau Persyarikatan Muhammadiyah itu malahmembantu pekerjaan Ki Panghulu dalam mengajarkan Agama Islam dan pengetahuan lain kepada anak-anak santri di Kauman yang diharapkan menjadi orang baik. Apa Ki Panghulu sudah mengerti keterangan-keterangan saya tadi? Jawab Ki Panghulu, “Yah, sudah mengerti Kanjeng”. “Ya syukur Ki Panghulu! Sekarang lantas bagaimana masih tetap tidak setuju atau dicabut?” “Yah, saya cabut saja lantas diganti setuju.” Sesudah surat tidak setuju diganti dengan surat setuju oleh Kyai Panghulu, lalu surat itu dilangsungkan hunjuk kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sesudah diamandemen oleh Resident Yogyakarta. Sri Sultan member izin berdirinya Perkumpulan Muhammadiyah hanya di Yogyakarta saja. Kemudian setelah diijinkan oleh Sri Sultan, surat permohonan itu dikirim kembali kepada Gouvernor General di Batavia lewat Resident Yogyakarta. Kemudian daripada itu, surat permohonan KHA. Dahlan dan kawan-kawannya yang disusun dalam surat permohonan mendirikan Persyarikatan Muhammdiyah tersebut dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan besluit, recht persoon, tanggal 18 November 1912 Miladiyah, bersamaan dengan 8 Dzulhijjah tahun 1330 Hijriyah berkedudukan di Yogyakarta. Surat izin tersebut dikirim kepada si pemohon, Persyarikatan Muhammadiyah, dengan melalui H.B. Boedi Oetomo Yogyakarta. Setelah surat itu diterima oleh Muhammadiyah, tidak selang beberapa hari lantas mengadakan rapat pengurus Muhammadiyah yang pertama kali dengan mengundang beberapa orang yang dipandang perlu diantaranya 2 orang anggota pengurus Boedi Oetomo yakni Raden Dwijosoewoyo dan R. Budiharjo dan beberapa orang dari Kauman. Rapat Pengurus itu untuk membicarakan bagaimana cara kita akan memproklamirkan berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah kepada umum dan dimana tempat yang paling baik pada waktu itu. Setelah dibicarakan dengan semangat yang ramai mengenai soal tempat, karena pada waktu itu belum ada tempat yang tersedia untuk berkumpul orang banyak, akhirnya Raden Dwijosewoyo memberi petunjuk, kalaudapat disetujui, dimajukan usul hendaknya perkumpulan itudiselenggarakan di Loodge Gebouw Malioboro dan beliausanggup menguruskannya, dan waktunya hari Sabtu malam Minggu terakhir bulan Desember 1912. Rapat itu sebaiknyadibikin undangan terbuka. Artinya yang tidak diundang juga boleh datang. Adapun yang diundang ialah para priyayi Pangreh Praja baik Kasultanan maupun Governement, orang-orang yang dikenal. Para pengurus diatur dengan berpakaian uniform secara dahulu yang mirib akan jiwanya Muhammadiyah, yaitu ketua KHA. Dahlan bersurban puteran bergamis dan berjubah Hangguri Blau. Sedang pengurus yang sudah hajibersurban biasa, berbaju hitam tutup dan bernyamping (kain panjang) dan berterumpah. Bagi yang belum berhaji memakai destar, baju putih buka memakai dasi, berkain panjang, pakai selop. Adapun pakaiannya tersilah masing- masing orang.

Rapat Undangan Terbuka Muhammadiyah yang Pertama Kali

Pada hari Sabtu malam Minggu terakhir dalam bulan Desember 1912 Miladiyah, Muhammadiya mengadakan rapat Undangan Terbuka untuk memproklamirkan berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah, bertempat di Gedung Loodge Gebouw Malioboro. Dengan mengundang ± 150 orang yang dipandang perlu seperti tersebut dalam rencana di atas. Tetapi yang hadir lebih kurang 60–70, termasuk yang tidak diundang. Maklumlah memang kesadaran rakyat pada masa itu belum merata, bahkan masih nyenyak tidurnya. Rapat yang dipimpin oleh KHA. Dahlan dan dimulai pada jam 8.30 dengan mengucapkan selamat datang dan banyak terima kasih pada sekalian hadirin baik yang diundang maupun yang tidak diundang, terutama para priyayi dan saudarasaudara dari pengurus Boedi Oetomo yang telah membantu tenaga dan moreel, selama Muhammadiyah memajukan permohonan idzin kepada pemerintah Hindia Belanda yang sampai berhasil. Dan menghaturkan beribu sembah nuwun terhadap Sri Paduka Kanjeng Sultan Hamengku Buwono yang menyetujui berdirinya Muhammadiyah di negeri Yogyakarta. Mudah- mudahanlah Muhammdiyah dapat hidup subur dan dapat mencapai kepada maksudnya. Amin. “Sekarang rapat kami buka dengan mengucapkan al-Fatikhah.” Dok, suara ganden memukul meja pimpinan. Lalu dipersilahkan Sdr Dwijosewoyo membacakan surat idzin yang berupa Rechtpersoonlijkheid Muhammadiyah dan Anggaran Dasarnya Persyarikatan Muhammadiyah yangmasih berbahasa Belanda serta diterjemahkan dengan bahasadaerah (bahasa Jawa ), serta dengan penjelasannya, sehingga dapat difahami oleh hadirin pada umumnya.Sdr. Dwijosewoyo lalu tampil ke muka untuk melaksanakan maksud itu dengan memulai membaca dalam bahasa Belanda dan terjemahannya bahasa Jawa, serta penjelasan-penjelasannya sampai memuaskan kepada hadirin semua, satu dua orang yang memajukan pertanyaanpun sudah diberi jawaban dengan memuaskan juga. Pembacaan Rechtpersoon dengan terjemah dan penjelasan-penjelasannya dengan jawaban pertanyaan kurang lebih memakan tempo satu jam 30 menit. Pimpinan mengucapkan terima kasih diperbanyak atas pembacaan Rechtpersoon dengan segenap penjelasaanya, serta jawaban-jawabannya terhadap kepada para yang memajukan pertanyaan, sehingga dapat menambah penjelasan bagimereka yang masih kurang jelas. Kemudian pimpinan mempersilahkan Kiyai Panghulu Pakualam Haji Abdullah Siraj tampil ke muka untuk membacakan doa kepada Allah swt. untuk kebahagiaan Muhammadiyah dalam menjalankan pimpinan yang menuju kepada maksud dan cita-citanya. Kemudian K.H. Abdullah Siraj tampil ke muka, sebelum mengucapkan doa beliau ingin menyambut akan lahirnya Muhammadiyah karena sangat terharu, dan mendoa kepada Ilahi mudah-mudahan lahirnya Muhammadiyah diberi usia yang panjang dalam bimbingan Tuhan serta diperlindungi dan diberi petunjuk kepada jalan benar dan lurus. Amin. Pimpinan mengucapkan terima kasih banyak kepada semua hadirin dan menutup rapat tersebut dengan membaca Al-Fatikhah. Dok. suara hamer memukul meja pimpinan tanda bubar. Pada jam 11.30. Alhamdulillah rapat selesai dengan bahagia dan gembira tidak terhalang suatu apa. Sebenarnya kalau secara sistim sekarang, sesudah Muhammadiyah diproklamirkan seperti tersebut di atas lantas diumumkan kepada rakyat umum dengan surat selebaran disertai dakwah, untuk menarik perhatian umum. Tetapi pada waktu itu tidak atau belum ada pikiran yang demikian itu. Jadi lahirnya Muhammadiyah di tengah-tengah pusatnya kota Yogyakarta, seolah-olah laksana bayi lahir di tengah masyarakat kampung, yang dihadiri oleh kawan tetangganya yang dekat sehingga selesai dibungkus denganpakaiannya lalu tersilah kepada ibu bapanya bayi tersebut.

KHA. Dahlan Ibu–Bapak Muhammadiyah

Setelah lahir Muhammadiyah pada hari malam Minggu akhir bulan Desember 1912 dengan selamat betapa besar hatidan gembiranya KHA. Dahlan dengan semangat yang menyala-nyala. Beliau berusaha terus-menerus menanamkanbenih ke-Islaman dimana-mana, bahkan tidak hanya mereka para siswa Kweekschool di Yogyakarta saja, melainkan kepada siswa Normalschool di Purwosari Solo, Opleeding School di Madiun, OSVIA Magelang dan H.K.S. di Purworejo, dengan saling ganti kunjungannya diantara ada yang sekali sebulan, ada dua kali dan ada yang dikunjungi oleh beliau tiap-tiap hari Sabtu sore. Namun demikian beliau tidak melengahkan memelihara Madrasah Ibtidaiyah Diniyah yang ada di sampingnya, karena Madrasah itulah yang dibanggakan untuk menimbun jurang perpecahan yang luas dan yang dalam diantara kaum muslimin yang santri dan kaum muslimin yang bukan santri. Sehingga timbul istilah yang menjadi racun yang berbahaya bagi persatuan kaum muslimin Indonesia pada seluruhnya dan di tanah Jawa pada khususnya. Yaitu Muslim Mutihan dan Muslim Abangan. Yang Muslim Mutihan, ialah kaum muslimin yang masih menjalankan syariat Agama Islam, yakni Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa Romadlon dan Haji. Golongan ini biasanya tidak banyak menghiraukan adat istiadat masyarakat umumnya, sehingga tertampaklah tingkah laku dan kata-katanya selalu janggal kaku dan congkak terhadap golongan Abangan. Sebaliknya golongan Abangan memandang golongan Mutihan, sangat meremehkan, karena golongan Mutihan itu tidak tahu adat istiadat, sopan santun, tata susila dan tata negara, karena mereka tidak sekolah pengetahuan umum, tetapi yang dipelajari soal doa untuk menghadapi panggilan selamatan dan kenduri yang kesannya menghasilkan bargowo. Demikianlah senjata perpecahan diantara dua golongan kaum muslimin di Indonesia pada umumnya dan di tanah Jawa pada khususnya diwaktu itu. Oleh karena itu dengan kebijaksanaan KHA. Dahlan untuk menimbun jurang perpisahan yang luas dan dalam itu, ditegakkan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah yang di situ diajarkan juga ilmu pengetahuan. Dengan terlaksananya sekolahan yang demikian itu, akan bertemulah kedua golongan Mutihan dan Abangan menjadi satu sama sama beruntung. Golongan Mutihan tidak kehilangan agamanya, tetapi beruntung tambah luas ilmu pengetahuan umumnya untuk menjadi sendi cara hidup kehidupan yang lebih luas dan sempurna. Sebaliknya, golongan Abangan tidak kekurangankepuasan akan menuntut pengetahuan Duniawi, malahan bertambah keuntungan dapat mengetahui pengetahuan agama Islam yang membawa ilmu pendidikan jasmani dan ruhani (Iman tauhid kepada Allah swt.) dengan mengikuti hukum Syariat agama Islam, ialah agama yang dipundi-pundi oleh para leluhurnya bangsa Indonesia di zaman yang lampau. Dengan bertumbuhnya sekolah-sekolah yang serupa itu, dari bawah sampai dengan yang atas akan ratalah jurang perpecahan diantara dua golongan tersebut, hapuslah istilah Abangan dan Mutihan dari tengah-tengah masyarakat Nasional Indonesia. Maksud dan tujuan KHA. Dahlan mewujudkan pendidikan yang teratur secara modern seperti tersebut di atas pada prinsipnya ialah hendak melaksanakan umat yang baik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt. Dalam surat Ali Imran ayat 110. “Kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi ta’muruna bil ma’rufi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minuna billahi, wa lau amana ahlul kitabi lakana khoirullahum min humul mu’minuna wa akhtsaruhumul fasiqun.” Maksudnya, keadaan kamu sekalian adalah sebaikbaiknya umat yang dilahirkan untuk kepentingan manusia. Perintahkanlah dengan perkara yang baik dan cegahlah akan perbuatan yang mungkar dan percayalah kamu sekalian dengan Allah. Kalau mereka orang kafir ahli kitab sama percaya, sungguh ada akan lebih baik bagi mereka, dari pada mereka sebagian ada yang mukmin, tetapi kebanyakan daripada mereka sama berdosa. Inilah i’tikat umat yang baik yang dimaksud oleh KHA. Dahlan. Jadi beliau tidak mengangankan dengan Madrasah (sekolahan)-nya akan membentuk ulama-ulama yang besar cerdik pandai seperti yang telah ada pada masa itu, tetapi yang diangankan ialah ulama dan cerdik pandai yang takwa kepada Tuhan dan yang berguna kepada manusia dan masyarakat Sudah tiga tahun Muhammadiyah dilahirkan di kota Yogyakarta, tetapi belum dapat mempengaruhi kepada penduduk di kota Yogyakarta pada umumnya dan pada penduduk di kampung Kauman pada khususnya, karena masih nyenyak dalam tidurnya, tenggelam dalam gelombang penghidupan. Penghidupan pada masa itu merupakan dua aliran, yaitu pertama kepriyayen kasultanan dan kedua perdagangan. Bagi orang-orang Kauman (kaum santri) banyak diantaranya kedua-duanya aliran itu menjadi perhatian betul-betul. Karena kedua-duanya memang menjadi pokok kemegahan hidup utama. Dengan berlomba menuju ke arah hidup megah dan utama itu sedikit demi sedikit dengan tidak terasa mengakibatkan makin menjauh dari pada hukum Syariat Agama Islam, baik di dalam ibadat maupun dalam muamalat di antara manusia. Umpamanya, dalam shalatnya sering meninggalkan waktu dan cepat sampai meninggalkan rukun (tuma’ninah) sehingga hanya merupakan gambar shalat yang tidak berkesan kebaikan akan kelakuannya. Demian pula puasanya hanya membalikkan waktu, waktu siang dijadikan malam dan waktu malam dijadikan siang. Artinya, kalau siang tidur dan kalau malam mengobrol sampai dengan waktu sahur dan terus sampai waktu subuh. Sehabis shalat subuh tidur lagi sampai lepas tengah hari. Tetapi bagi mereka yang berdagang batik mungkin jam 9 pagi sudah bangun untuk melayani tamu-tamu yang berbelanja batik sampai lepas tengah hari. Lantas kembali tidur lagi sampai waktu Asyar. Sesudah shalat Asyar keluar pergi putar kayun dengan kereta kuda besar yang sudah dipesan sambil belanja makanan dan minuman di toko-toko yang dilalui untuk berbuka nanti. Tetapi yang lebih megah, mereka memang sudah sedia kereta yang mentereng dan kuda yang bagus dan tidak hanya untuk puter kayun bulan puasa, tetapi sewaktu ada kehendak yang dipandang megah untuk dipakainya.

Ibadat Haji

Bangsa Indonesia memang sejak zaman koloni Belanda gemar pergi haji ke Makkah dan ziarah ke makam Nabi di Medinah. Tidak dengan berdasar hukum agama atau memang tidak mengetahui ilmu, syarat rukunnya ibadat yang secukup-cukupnya. Sehingga apakah faham ibadat haji kebanyakan mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat, selama mereka ada di tanah suci. Tetapi jamaah haji pada masa itu umumnya baru sampai di Jeddah mereka sudah mulai belanja pakaian, surban, kopyah, gamis sruwal Arab dan lain-lain yang diinginkan. Kepentingan yang mengenai ibadat hajinya kurang diperhatikan, malah ada banyak soalsoal yang penting dalam ibadat haji yang tidak dapat terlaksana karena kehabisan bekal, sebab sudah digunakan untuk kepentingan pakaian lebih-lebih kalau sudah menghadapi lebaran. Rupanya yang demikian itu boleh diduga bahwa isi hatinya haji itu adalah Makkah dan pakaian saja. Tentu mereka itu menyadari segi-seginya ibadat haji yang sedalam-dalamnya, bahkan mungkin rukun Islam yang lain masih dalam demikian juga.

Ziarah ke Makam Nabi

Memang sudah menjadi lazim bagi umat Islam segala bangsa apabila mereka dapat kesempatan pergi haji ke tanahsuci Makkah mereka mesti merasa wajib pergi ziarah ke Makam Nabi di Madinah. Karena itu memang sudah berates tahun menjadi tradisinya umat Islam sedunia yang pergi haji. Sehingga sama merasa pergi haji ke Makkah dengan memenuhi syarat hukum dan wajibnya tetapi tidak berkunjung ziarah ke makam Nabi di Madinah, maka tidak berartilah hajinya itu, yakni jadi haji yang mardud (tidak diterima) bahkan terkeluar dari golongan umat Muhammad. Biasanya para masyayikh memberangkatkan jamaahnya ada tiga kelompok Kelompok pertama bagi jamaah yang datang di Makkah pada bulan Rajab, kalau cukup banyak, diberangkatkan pada bulan Rajab itu juga. Kalau datang bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal diberangkatkan bulan Dzulqaidah, kalau datangnya lebih dari itu diberangkatkan setelah haji. Oleh karena itu, walaupun pergi ke Madinah pada masa itu sangat menderita kesukaran dan kesulitan dalam perjalanan 24 hari 24 malam dengan kafilah yang berbondong - bondong100, 200 bahkan 300 orang. Kafilah tiap gerombol berjalan mulai habis sembahyang Dhuhur sampai Shubuh melalui padang pasir dan naik turun gunung batu dalam jalan yang sempit serta panas terik atau dingin yang sangat atis dengan keamanan yang tidak terjamin di sepanjang jalan baik siang maupun malam. Tiap-tiap rombongan kafilah itu ada syaikh-nya masing-masing jamaah berkafilah-kafilah atau wakilnya yang mengepalai perjalanan itu, sehingga jamaahnya dalam kafilah itu jangan sampai terlalu menderita dalam sesuatunya selama dalam perjalanan. Walaupun demikian dijaga, tetapi karena memang dasar perjalanan itu memang perjalanan yang sangat berat dan sangat musyaqat, maka tidak sedikit orang yang meninggal dalam perjalanan itu.

KHA. Dahlan Melepaskan Senjata Kanonnya yang Ditujukan Kepada Kaum Muslimin

Pada sekitar tahun 1906, KHA. Dahlan memproklamirkan Undang-Undang Dasar yang mengejutkan perasaan kaum muslimin pada umumnya, ialah ziarah kubur kufur, ziarah kubur musyrik dan ziarah kubur haram. Dengan peluru yang dilepaskan itu tepat mengenai sasaran yang dimaksud sehingga kaum muslimin gempar lebih-lebih para para alim ulamanya. Mereka dari jauh mengatakan Haji Ahmad Dahlan sekarang sudah jadi orang Mu’tazilah, sudah ingkar kepada sunnah Rasulullah, sudah menjadi Wahabi dan lain-lain sebagainya. KHA. Dahlan mendengar sambutan orang banyak yang beraneka warna yang berupa tuduhan dan dakwaan atas pribadinya itu, beliau terima dengan senyum tenang dan sabar, karena beliau menginsyafi bahwa mereka memang sungguh-sungguh belum sadar dari pada tidurnya yang nyenyak itu. Buktinya, beliau telah membuka pintu kamar tamunya untuk menerima barangsiapa saja di antara mereka yang hendak menentang atau membantah soal ziarah kubur yang dikufurkan, yang dimusyrikkan dan yang diharamkan oleh beliau. Tetapi tidak ada seorangpun dari mereka yang datang untuk menyatakan ketegesan (maksud) kedudukan orang ziarah kubur menjadi kufur, orang ziarah kubur menjadi musyrik dan ziarah kubur haram. Padahal faham Islam pada umumnya ziarah kubur adalah sunnah. Setelah mereka diberi penjelasan dengan dalil keadaan kaum muslimin Indonesia pada umumnya dan kaum muslimin di Yogyakarta serta kaum muslimin di Kauman pada khususnya. Terutama kepada yang minta penjelasan sendiri (kepada hatinya) bagaimana rasa yang terkandung dalam hatinya diwaktu ziarah kuburnya para yang dipandang wali, keramat dan shalih dan bagaimana pula bila berziarah kuburnya keluarga sendiri. Dengan penjelasan-penjelasan ini sipeminta penjelasan merasa puas dan menginsyafi bahwa soal ziarah kubur oleh kaum muslimin pada umumnya sangat mesti mengandung salah satu dari tiga anasir tersebut di atas atau malah mungkin mengandung tiga-tiganya sama sekali. Dengan datangnya beberapa orang yang minta ketegesan soal ziarah kubur itu pada umumnya dan haji pada khususnya, banyaklah sesungguhnya belum sama mengerti tauhid suci murni khalis dan mukhlis. Bahkan masih banyak terlihat orang-orang itu yang masih gemar memakai jimatjimat dan kemat-kemat untuk macam-macam maksud yang baik dan maksud yang tidak baik. Maka itu KHA. Dahlan merasa perlu giat berusaha menanam bibit tauhid yang sesuci semurni-murninya kepada para pemuda-pemuda di masa itu supaya dapat mempertumbuhkan iman yang teguh bakuh serta kuat untuk mengamalkan amalan-amalan agama Islam baik yang mengenaimasyarakat dan yang mengenai akhirat.

Muhammadiyah Berkembang dan Bertumbuh

Pada tahun 1917 pertengahan bulan Maret, tiba-tiba KHA. Dahlan memerintahkan kepada murid-muridnya yang agak dewasa kurang lebih lima orang untuk mempersiapkan perlengkapan sidang tahunan perkumpula Boedi Utomo di sekolahannya dengan murid 100 kursi satu meja pimpinan, tempat yang lain disambung dengan bangku- bangku sekolah yang ada. Dan sediakala Thee dan setelah istirahat diganti dengan kopi susu. Sidang tahunan B.O. itu akan terjadi nanti pada hari Sabtu malam Minggu yang akan datang ini. Dari sana akan dibawa satu podium (mimbar). Oleh karena pada masa itu belum ada persewaan kursi dan meja seperti sekarang, maka kursi-kursi itu hanya dapat dipinjam dari tetangga sekitar rumah KHA. Dahlan sehingga terdapat kursi bermacam-macam warna dan modelnya, tetapi cukuplah untuk keperluan sidang tersebut. Hari Sabtu malam Minggu yang telah ditentukan itu berlangsunglah sidang tahunan Boedi Oetomo di sekolahan Muhammadiyah tersebut dengan dikunjungi segenap anggota dan tamu-tamu yang diundang dengan gembira dan meriah. Tetapi penghuni kampung Kauman entah diundang atau tidak, mereka hanya datang melihat dari luar gedung sekolahan. Bahkan ada yang melihat itu dengan sembunyisembunyi di tempat yang agak gelap karena malu- malu takut. Adapun anak-anak yang disuruh menjadi pelayan mereka turut duduk dalam gedung tetapi sebagai mustami’ saja yang tidak mengerti betul-betul apa yang diterangkan oleh pembicara, karena pembicara banyak menggunakan bahasa asing yang tidak dimengerti oleh mereka. Hanya memandang lagak lagunya pembicara memang tangkas dan bergas serta bagi mereka yang betul-betul mengerti. Akhirnya rapat ditutup ± jam 12 dengan selamat dan gembira, serta pimpinan mengucapkan terima kasih banyak kepada hadirin sekalian dan memberikan selamat jalan. Apakah sesungguhnya KHA. Dahlan dengan condong menerima sidang tahunan Boedi Oetomo di sekolahannya, itu tidak seorangpun mengetahui maksudnya. Karena memang tidak terbuka wajarnya. Tidak selang berapa hari para muda yang disuruh melayani sidang Boedi Oetomo berkumpulah mereka di tempat yang biasa mereka itu berkumpul, ialah di rumah sdr. H.M. Syoedja' Kauman. Diantaranya ada beberapa saudara merenungkan apa yang telah terjadi dalam siding B.O. tersebut. Bukanlah itu merenungkan karena ingin akan menjadi anggota B.O., tetapi yang direnungkan betapa indah dan eloknya seumpama agama Islam itu dapat diterangkan di muka orang banyak dan umum sebagaimana cara yang dilakukan oleh B.O. itu, tentu dengan bahasa daerah (bahasa Jawa), tentu akan lancar tersiarnya dan lebih mudah pula dapat dimengerti dan difahami oleh khalayak ramai. Cetusan renungan itu disambut oleh kawan-kawan dengan persetujuan dan lalu menjadi pembicaraan diantara kawan-kawan, yaitu H.M. Syoedja', H. Fakhrudin, H.M. Tamimuddari, M. Ahmad Badar, H.M. Zaini Hasyim. Cetusan itu menjelmakan suatu perkumpulan (pengajian) yang diberi nama “Malam Djoem’ah” yang mempunyai tujuan menyiarkan Agama Islam. Lima orang tersebut di atas sebagai pelopornya mengeluarkan modal pertama untuk membeli satu podium dengan syarat wujudnya mimbar untuk rapat, sehingga tubuh bawahnya (kakinya) pembicara tidak tampak. Maksudnya, karena peristiwa ini adalah suatu kejadian yang baru dan memang belum pernah dialami oleh kita sekalian kaum santri dimasa lampau. Kalau-kalau ada kejadian kakinya pembicara gemetar karena kewibawaan orang banyak, supaya tidak dapat kelihatan. Karena walaupun sudah dimaksud akan menumpahkan segala kekuatan batin dan mencurahkan pikiran yang sebesarbesarnya dengan didorong oleh kemauan yang besar dan keberanian yang tebal, namun sebenarnya masih merupakan satu latihan dalam taraf yang pertama. Tidak dengan direncanakan dan tidak dengan diumumkan orang banyak, apabila mimbar sudah selesai dibuat, maka pada malam Jum’ah perkumpulan itu dimulai membuka penyiarannya Agama Islam pada tiap-tiap malam Jum’ah seterusnya. Memang tidak perlu direncanakan dan diumumkan, karena tempatnya memang umum sudah maklum. Alhamdulillah, dengan berkat dan rahmat Allah swt. serta taufiq dan hidayat-Nya pembukaan perkumpulan Malam Jum’at yang pertama kali itu dapat sambutan dari penghuni kampung Kauman dari dua jenis priya dan wanita dengan memuaskan, sehingga hadirin tidak mementingkan tempat duduk biar berdiri serta bersesak tidak apa asal melihat pembicara dan mendengarkan bicaranya. Pembukaan pengajian yang pertama itu sudah menunjukkan gejala-gejala yang menggembirakan. Karena walaupun dalam pengajaran agama itu diterangkan hanya rukun Islam lima, rukun Iman enam dengan sekedar penjelasan yang seperlunya menurut pelajaran ilmu fiqih yang telah diketahui dalam pengajian yang sudah dialami. Keterangan Agama dengan bahasa Jawa itu ternyata benar sangat dihajatkan oleh umum, teristimewa umum boleh mengajukan apa yang kurang dimengerti dan pembicara akan memberi penjelasan seperlunya sehingga si penanya dapat menginsafi sewajarnya. Setelah berjalan dua-tiga kali, pengajian Malam Djum’ah itu kelihatan giat pertumbuhannya. Diserukanlah kepada hadirin hendaknya masing-masing membawa kursi sendirisendiri dan dibawa pulang sendiri-sendiri, karena di sini tidak ada kuli yang mengambil dan mengembalikaan kursi itu. Seruan itu pada umumnya diterima tetapi harus diubah redaksinya, yaitu “Tiap saudara-saudara yang hendak mengikuti pengajian Malam Djum’at harus membeli sebuah kursi untuk pengajian itu dengan harga 3,25 gulden dengan franco ke tempat, dan itu menjadi milik Pengajian Malam Djum’at. Siapa yang hendak membeli kursi itu, hendaklah menyerahkan uang harganya kepada sdr. H.M. Syoedja'. Usul perubahan ini disetujui oleh mereka dengan serentak. Dan kemudian yang sudah membawa uang lalu menyerahkan dan yang belum bersedia boleh didaftar namanya. Pada malam itu terkumpul jumlah uang untuk 12 kursi = 39 gulden. Yang lain boleh menyusul dan menyerahkan langsung kepada sdr. H.M. Syoedja'. Alhamdulillah, dengan persetujuan itu kursi tiap hari makin bertambah sehingga mencukupi keperluan Pengajian Malam Djoem’ah.

Pengacau Pengajian Malam Djoem’ah

Berjalan dua bulan Pengajian Malam Djoem’ah, datangberhadir dalam pengajian itu seorang alim yang lain kwaliteit jiwanya turut duduk mendengarkan pengajian itu sampai pembicara menerima pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hadirin yang bersangkutan dengan apa yang diterangkan oleh pembicara. Dan pertanyaan-pertanyaan itu sudah selesai dijawab, tiba-tiba pengacau yang alim menyodorkan pertanyaan yang luar dari apa yang diterangkan oleh pembicara dengan tenang dan sabar, pada waktu itu pembicara sdr. H.M. Fakhrudin almarhum. Tetapi oleh karena pertanyaan itu di luar pembicarannya, sesungguhnya cukuplah ditolak saja. Tetapi karena sdr. H.M. Fakhrudin ingin tahu apa yang disodorkan itu, maka dipersilahkan alim itu melahirkan pertanyaannya. Alim memajukan pertanyaan, “Kiblat ummat Islam Indonesia pada umumnya dan ummat Islam di tanah Jawa ke arah mana? Ke arah Jihatul qiblat atau harus ke arah Ainul jihatul qiblat?” Drs. H.M. Fakhrudin menjawab, “Oleh karena pertanyaan itu menyimpang dari apa yang telah kami terangkan tadi, tetapi karena soalnya bersangkut paut dengan agama, baiklah pertanyaan itu akan kami jawab juga dengan semestinya, tetapi karena waktunya sudah tidak mengizinkan, maka insya Allah pertanyaan itu akan kami jawab nanti pada malam Jum’at yang akan datang dengan jawaban yang tepat mengenai soalnya. Oleh karena itu saudara-saudara hadirin sekalian kami harapkan pada Pengajian Malam Djum’ah yang akan datang jangan berhalangan hadir, bahkan besar harapan kami hendaknya saudara membawa kawan-kawan yang belum pernah datang dalam Pengajian Malam Djum’ah yang amat penting ini. Tentu saudara akan puas mendengar jawaban kami tentang soal kiblat sholat kita sehari-hari. Lalu pengajian disudahi dengan bacaan al-Fatikhah. Pengajian lalu bubar pada jam 11.30 dengan selamat. Pengacau itu sesungguhnya satu-satunya murid KHA. Dahlan termasuk yang dikasih-sayangi sejak dewasa sampai orang tua, tetapi pada jiwanya jauh beda dengan gurunya. Pertanyaan yang disodorkan itu sesungguhnya si penanya bukan belum atau tidak tahu, tetapi malah sudah mengetahui barang sedalam-dalam nya, karena masalah qiblat itu telah mengalami sejarah perjuangan yang menggemparkan umat Islam di Yogyakarta pada 20 tahun yang lampau (1897) yang surau KHA. Dahlan yang baru saja selesai dibangun dengan biaya ribuan rupiyah (gulden) dibongkar dengan cara sewenang-wenang dan pergolakan berkiblat sembah yang di Masjid Besar di Yogyakarta sampai hantamhantaman. Sekarang pada masa perkembangan Muhammadiyah, masalah yang sudah lapuk kawuk akan diungkat-ungkat lagi untuk menanam fitnah dalam masyarakat yang dibangun. Subhanallah. Tetapi kita tetap percaya bahwa Allah swt. menyertai kita dengan mencurahkan taufiq dan hidayat-Nya. Allah humma amin. Pada Pengajian Malam Jum’at yang telah dijanjikan akan menjawab soal Kiblat dari si penanya, kunjungan hadirin sampai meluar luap yang di dalam sebagian duduk dan sebagian lagi berdiri, karena akan mendengarkan betapa jawabnya si pembicara terhadap penanya tentang hal kiblat tersebut. Setelah acara Pengajian Malam Jum’at yang dilancarkan oleh Sdr. M. Ahmad Badar dan sdr. H. Hadi (dahulu belum ditambah Kusumo), lalu istirahat sekedar lima menit untuk menenangkan suasana. Lalu sdr. H. Fakhrudin tampil ke mimbar, disambut dengan suara orang banyak yang gemuruh: “haaa”. “Assalamu’alaikum. w. w. Saudara-saudara sebelum kami menjawab pertanyaan tentang soal qiblat, lebih dahulu kami menerangkan, bahwa sesungguhnya pertanyaan itu, menurut peraturan Pengajian Malam Jum’at tidak perlu kami layani (kami jawab), karena pada Pengajian Malam Jum’at yang lalu kami tidak menerangkan soal kiblat. Tetapi karena kiblat termasuk juga dalam syaratnya sholat, kami memandang perlu soal itu kami jawab denga secara singkat. Kiblatnya umat Islam Indonesia pada umumnya, dan kiblatnya umat Islam di Yogyakarta pada khususnya dalam sholatnya, sama dengan kiblat umat Islam sedunia dari segala bangsa sama satu kiblat, yaitu Ka’bah (Baitullah) yang berdiri tegak di tengah-tengah Masjidil Haram di Makkah. Bagi mereka yang di dalam Masjid Haram menuju ke Ka’bah, yang ada jauh cukup menghadap ke Masjid Haram. Dan bagi yang lebih jauh lagi cukuplah menghadapkan ke Makkah yang di dalamnya Ka’bah ada di situ. Sekian.” Jawaban yang disambut oleh orang banyak dengan tepuk tangan yang gemuruh dengan rasa hati yang puas terhadap jawaban itu. Dengan mengucap syukur Alhamdulilllah, Pengajian Malam Jum’at sejak dapat menjawab soal kiblat, perkembangan Muhammadiyah tampak tambah lancar kemajuannya, tidak saja di tempat Pengajian Malam Jum’at di Kauman, tetapi di kampung-kampung lain. Umpamanya, di kampong Ngupasan dibangun kelompok Sumarah Allah, di kampong Suronatan dan Notoprajan didirikan Thoharatul Qulub dan lain-lain kampung, seolah-olah sebagai tumbuhnya cendawan di musim hujan yang berinduk kepada Pengajian Malam Jum’at di Kauman dan guru-gurunya pun dari situ juga. Para pembangun pengajian di kampung-kampung itu terdiri dari pada penghuni kampung itu sendiri yang sama mengikuti Pengajian Malam Jum’at di Kauman. Adapun jalannya pengajian di kampung-kampung itu dilakukan pada tiap malam selain malam Jum’at. Dalam Pengajian Malam Jum’at itu sesungguhnya tidak hanya diselenggarakan pengajian saja, tetapi seringkali sehabis pengajian lalu disambung dengan ramah tamah, sambilmemikirkan bagaimana dapat mengamalkan amalan- amalan Islam yang terlahir dalam masyarakat ramai, baik yang mengenai jasmani maupun yang mengenai ruhani. Yang pada masa lampau orang tidak gembira mengamalkan amalan Islam walaupun diperintahkan oleh agamanya. Umpamanya:

1. Timbulnya penyiaran agama dengan para mubalighin dan mubalighat.

2. Penyiaran agama Islam dengan cara perpustakaan dengan menjelmakan Taman Pustaka.

3. Timbulnya pertolongan Umum dengan Penolong Kesengsaraan Umum terhadap orang miskin dan anak yatim penderita yang sengsara.

Karena bangkitnya kemauan hendak berusaha melaksanakan perintah agama yang tercantum dalam kitab Al-Qur’an dan seruan Nabi Besar Muhammad saw. Itu timbullah dari jiwa yang suci murni penuh semangat yang menyala-nyala disertai rasa hati yang gembira untuk mengamalkannya. Maka menjelmanya tiga tujuan tersebut di atas seolaholah yang sudah merupakan badan organisasi sendiri-sendiri, dengan menyusun Ketua, Penulis dan Bagian Keuangan serta Pembantu-pembantunya dan masing masing berusaha mencari penyokong sendiri-sendiri untuk membelanjai tugas amalannya. Alhamdulillah, munculnya tiga bidang tujuan yang suci itu walaupun masih merupakan bidang yang di luar dari pada organisasi Muhammadiyah, tetapi cukuplah mendapat sambutan hangat dari penghuni kampung-kampung itu dengan kesadarannya mereka suka menjadi donatirnya dengan memberikan sokongannya tiap-tiap bulan kepada badan bidang-bidang tersebut. Dengan kegiatan yang menggembirakan para pengurus bidang-bidang tersebut dan kesadaran para penyokong atau donatir yang tidak pernah menunggak iurannya, walaupun tidak begitu besar seperti yang diharapkan, tetapi dapatlah untuk melaksanakan yang dimaksud oleh bidang masingmasing, walaupun dengan cara yang sangat sederhana. Umpamanya:

1. Pada penyiaran agama dengan secara tabligh sudah melangkahkan kakinya keluar kota dengan bantuan kawan-kawan yang memiliki sepeda untuk melancarkan Penyiaran Agama.

2. Demikian juga penyiaran agama dengan secara perpustakaan dapat dimulai dengan sederhana ialah dengan selebaran, buletin, kepada orang-orang yang minta dan orang yang dipandang perlu.

3. Bagi Penolong Kesengsaraan Umum, juga mulai dengan menolong orang kampung yang kematia keluarganya yang terlantar dengan mencukupi kepentingan mayatnya yang terlantar sampai dikebumikan. Walaupun sesungguhnya perkerjaan tiga bidang itu kalau dinilai belum berarti kepada masyarakat, tetapi karena kesungguhan usaha itu kelihatan giatnya semangat dan tepat menuju maksudnya, maka para penyokong bertambah kesadarannya yang luar biasa bila ada seruan daripada pengurus bidang-bidang tersebut. Dengan kegiatan para pengurus di bidang-bidang itu merupakan suasana baru, yaitu mondar-mandirnya para loper penarik iuran donasi dari masing-masing bidang kepada para donatirnya sendiri dan diserahkan kepada bidang-bidang yang bersangkutan. Perkembangan itu berjalan satu tahun, kelihatan gejala gejalanya makin menjadi-jadi, sehingga timbullah fikiran baru daripada tokoh-tokoh bidang tersebut, kalau keadaan demikian itu dibiarkan dikhawatirkan akan timbul persaingan di antara satu sama lain yang akibatnya menjadi perpecahan. Fikiran yang timbul dari tokoh-tokoh itu lalu dipertemukan akhirnya menjadi perundingan konkrit untuk menjaga keselamatan dan kebaikan serta keberesan keseluruhannya baiklah bidang-bidang yang bertumbuh dan berkembang itu dan ditambah bidang pengajaran yang dipegang oleh sdr. H. Hisyam diusulkan kepada Hoofd Bestuur (H.B.). Muhammadiyah hendaknya dimasukkan dalam organisasi Muhammadiyah sehingga usaha itu dapat hidup langsung dalam lingkungan dalam lingkungan H.B. Muhammadiyah, disusun dan diatur oleh H.B. Muhammadiyah Alhamdulillah perundingan itu dapat persetujuan secara bulat aklamasi, lalu diajukan usul kepada H.B. Muhammadiyah atas nama empat orang yang sama memegang peranan dalam empat bidang yang sedang bertumbuh dan berkembang tersebut di atas. Diantaranya tokoh-tokoh juga anggota H.B. Muhammadiyah. Oleh karenanya usul itu setelah dibicarakan dalam sidang H.B. Muhammadiyah juga lantas diterima dengan baik dan suara bulat. Dan ditentukan pula waktu peresmiannya masuknya bidang-bidang itu dalam organisasi Muhammadiayah pada tanggal 17 malam 18 bulan Juni 1921 di Pendopo Pengajian Malam Jum’at di Kauman dengan diselenggarakan Sidang Anggota Muhammadiyah Istimewa, untuk melantik pengurus bidang- bidang tersebut dan bidang-bidang itu lalu diganti nama dengan namaBahagian daripada H.B. Muhammadiyah.

Hari Malam yang Mengandung Berkat daripada Allah dan Hari yang Bersejarah Bagi Muhammadiyah

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, telah berlangsung Rapat Anggota Muhammadiyah Istimewa pada tanggal 17 malam 18 Juni 1920 yang dihadiri oleh lebih kurang 200 anggota dan simpatisan yang diundang. Rapat dipimpin oleh Yang Mulia KHA. Dahlan sendiri. Lebih dahulu pimpinan mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum wa rohmatu Allahi wa barokatuh. Kepada para hadirin dan banyak terima kasih kedatangan para hadirin dan mudah-mudahan Allah menerimanya.” Rapat dimulai tepat jam 9 dengan membaca surah Al- Fatikhah, lalu diterangkan acara penting yang akan dibicarakan dalam sidang anggota yang istimewa malam ini, ialah masuknya bidang-bidang yang bertumbuh dan berkembang di sekitar kita tetapi di luar organisasi Muhammadiyah oleh karena itu H.B. Muhammadiyah sudah merencanakan bahwa masuknya bidang-bidang tersebut diterima dan diberi tempat kedudukan sebagai bahagian dari H.B. Muhammadiyah dengan nama:

1. Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, diketuai oleh Sdr. H.M. Hisyam.

2. Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Tabligh diketuai oleh Sdr. H.M. Fakhrudin.

3. Hoofd Bestuur Muhammadiyah bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem diketuai oleh Sdr. H.M. Syoedja’

4. Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka diketuai oleh Sdr. H.M. Mokhtar.

Maka oleh fihak pimpinan rencana itu diajukan tawaran kepada rapat anggota tersebut dan oleh rapat tawaran itu dapat disambut dan serta diterima dengan aklamasi dan gembira. Selanjutnya para Ketua Bahagiannya akan dilantik tetapi tidak disumpah) oleh fihak pimpinan, hanya diminta kesetiaannya akan sampai kemana satu-satunya Kepala Bahagian akan memimpin usahanya Bahagiannya. Pertama kali ditanya oleh fihak pimpinan ialah sdr. H.M. Hisyam sebagai Ketua Bahagian Sekolahan (Pengajaran) sampai kemana Bahagian Sekolahan akan membangun sekolah sekolahnya? Sdr. H.M. Hisyam menjawab dengan suci murni dan hati-hati dengan menyatakan bahwa, “Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus Bahagian Sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan Gedung Universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan Mahaguru Muhammadiyah pada khususnya guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya. Jawaban ini dapat sambutan dari fihak pimpinan dengan ucapan Alhamdulillah dan diikuti dengan suara sidang yang meriah dan gemuruh dengan suara bersama alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Kedua, Sdr. H. Fakhrudin tampil ke muka untuk dilantik dan diminta pernyataannya oleh fihak Pimpinan, sampai kemanakah Bahagian Tabligh hendak berusaha melaksanakan cita-citanya? Jawab Sdr. Fakhrudin sebagai Ketua Bahagian Tabligh, hendak mengembangkan Agama Islam dengan jalan bertabligh sampai dapat membangun surau- surau dan langgar-langgar serta masjid-masjid yang belum ada untuk tempat pengajian dan ibadat untuk ummat Islam setempat. Dan menyelenggarakan Madrasah Mubalighin serta membina pondok luhur yang modern untuk mencetak ulama-ulama yang ulung lagi modern untuk membimbing ummat yang terpelajar, sehingga cahaya Islam memancar menerangi semesta alam. Seketika itu pimpinan tersenyum manis dikala mendengar jawaban Sdr. H.M. Fakhrudin sebagai Ketua Bahagian Tabligh yang menunjukkan kegagahan dan ketabahan hati yang didorong semangat yang menyala-nyala untuk mempelopori gerak Muhammadiyah dalam Bahagian Tabligh. Pimpinan mengucapkan Alhamdulillah, mudah-mudahan Allah memberi taufiq dan hidayat kepada Bahagian Tabligh, disambut oleh sidang dengan tepuk tangan yang bertalu-talu dengan suara gemuruh tanda setuju dan sefaham. Ketiga, Sdr. H.M. Mokhtar sebagai Ketua Bahagian Taman Pustaka maju ke muka untuk dilantik dan diminta pernyataannya oleh pimpinan. Sampai ke mana Bahagian Taman Pustaka hendak berusaha menuju kepada maksud dan cita-citanya? Sdr. Mokhtar menjawab dengan tegas, bahwa H.B. Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguhsungguh berusaha menyiarkan Agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cumacuma atau dengan Majalah bulanan berkala atau tengah bulanan, baik yang dengan cuma-cuma maupun dengan berlangganan dan dengan buku Agama Islam baik yang prodeo tanpa beli maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah. Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam dan ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud. Taman Pustaka pun hendak membangun dan membina gedung Taman Pustaka (taman pembacaan) untuk umum di mana-mana tempat dipandang perlu. Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam jawaban ini pun tidak kurang penting dan seremnya dari jawaban Bahagian yang lain. Dan disambut oleh fihak pimpinan dengan gembira dan diharapkan mudahmudahan Allah mencurahkan taufiq dan hidayat-Nya kepada Bahagian Pustaka sampailah kepada cita-citanya. Pun disambut pula dengan tepuk tangan dari sidang dengan riuh dan meriah. Keempat, sebagai lantikan dan pernyataan yang terakhir Sdr. H.M. Syoedja' sebagai Ketua Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem tampil ke muka untuk dilantik dan minta pernyataannya, akan sampai kemana hendak melaksanakan pertolongannya kepada umum? Jawabnya, “Hendak membangun hospital untuk menolong kepada umum yang menderita sakit”. Jawaban H.M. Syoedja' ini agak menggemparkan fikiran hadirin karena terlalu besar yang akan dibangun dan tidak seimbang denga kemampuan si penjawab di masa itu sehingga mereka tertawa berbahak-bahak seolah-olah mengherankan. Tetapi fihak pimpinan KHA. Dahlan tetap tenang dan bijaksana tidak ikut serta tertawa dengan orang banyak, bahkan beliau memberi isyarat dengan tangannya supaya hadirin tenang. “Dan selain daripada itu hendak membangun apa pula?” Sdr. H.M. Syoedja' menjawab, “Hendak membangun Armhuis.” Orang banyak tidak tertawa seperti yang sudah melainkan tenang dan diam seribu bahasa, karena mereka agaknya masih merasa asing dalam bahasa itu. Sehingga pimpinan merasa perlu menanya apa artinya bahasa Armhuis itu? Jawabnya, “Menurut kata orang, Armhuis artinya adalah Rumah Miskin.” Orang banyak tertawa lagi dengan serentak seolah-olah mereka berfikir kembali membayangkan jawaban yang semula, tetapi Yang Mulia KHA. Dahlan tetap tenang dan berisyarat menenangkan tertawa yang riuh rendah. Kemudian pimpinan bertanya lagi, hendak membangun apa lagi? Jawabnya, hendak membangun Weeshuis. “Haa, ada pula kata-kata yang aneh lagi.” Apakah kata Weeshuis itu? Jawabnya, Weeshuis itu artinya Rumah yatim. Orang banyak akan tertawa lagi bahkan ada yang terlanjur berkata, “Itu kan pekerjaan pemerintah, apakah Muhammadiyah akan menjadi pemerintah?” Tetapi pimpinan Y.M. KHA. Dahlan tetap tenang dan memberi isyarat supaya sidang tenang. Lalu mengucapkan terima kasih dan membaca Alhamdulillah serta bersyukur kehadapan Allah yang Maha Tinggi dan MahaMurah dan mendoakan mudah-mudahan segala apa yang keluar dari ucapan yang suci dan murni dari Ketua-Ketua H.B. Muhammadiyah Bahagian tadi mendapat bimbingan serta taufiq dan hidayat daripada Allah swt. untuk kelancaran terlaksananya maksud dan tujuan tersebut. Amin. Jam 12 malam rapat akan ditutup dengan selamat. Perlu diutarakan di sini, bahwa sebelumnya Sdr. H.M. Syoedja' minta idzin kepada Pimpinan hendak bicara sebentar dan permintaan itu oleh Pimpinan dikabulkan. Maka dengan segera Sdr. H.M. Syoedja' mulai bicara sebagai berikut. “Pimpinan Yang Mulia dan Saudara sekalian yang terhormat. Assalamu’alaikum warohmatu Allahi wa barokatuh. Sungguh, sangat menyesal dan keciwa hati saya, ketika saya mendengar sambutan atas jawaban saya terhadap pimpinan sidang dengan gelak ketawa yang mengandung isi seolah-olah melemahkan semangat jiwa saya yang penuh keyakinan atas dasar pengetahuan (ilmu yaqin) daripada ajaran Agama Islam yang sumbernya kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Muhammad saw. Dalam Al-Qur’an dapat kita lihat masih tercantum Surat Al-Ma’un dengan ayat dan lengkap tidak sehurufpun yang kurang sekalipun berubah, arti dan maknanya pun tetap sejak turun diwahyukan oleh Allah sampai kini tetap juga. Meskipun kitab suci Al-Qur’an sudah berabad-abad dan surat Al-Ma’un menjadi bacaan sehari-hari dalam sembahyang oleh umat Islam Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya, namun sampai kini belum ada seorang dari umat Islam yang mengambil perhatian akan intisarinya yang sangat penting itu untuk diamalkan dalam masyarakat. Banyak orang-orang di luar Islam (bukan orang Islam) yang sudah berbuat menyelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanakkanak Yatim yang terlantar dengan cara sebaik- baiknya hanya karena terdorong dari rasa kemanusiaan saja, tidak kerna merasa bertanggung jawab dalam masyarakat dan tanggung jawab di sisi Allah kelak di hari kemudian. Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka saya heran sekali kalau umat Islam tidak dapat berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia bukan untuk khalayak yang lain. Apakah kita bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat kena apakah kita tidak dapat berbuat? Hum rijalu wa nahnu rijal. (mereka manusia kitapun manusia). Saudara-saudara yang terhormat dan yang tertawa, rupanya saudara-saudara itu masih belum yakin percaya kepada Allah swt. dan belum yakin percaya kepada kitab- Nya, sehingga saya bercita-cita akan membangun Hospital, Rumah Miskin dan Rumah Yatim saja, seolah-olah mustahil akan dapat terlaksana, karena Saudara pandang ketiadaan kemampuan kita diwaktu sekarang ini, sehingga cita-cita kita Saudara pandang sangat melampaui batas. Allah Ta’ala tidak memerintahkan kepada kita hamba-Nya sesuatu yang bukan bakatnya walau pun soal yang sekecil-kecilnya. Tetapi Allah ta’ala memerintahkan kepada kita sesuatu yang kita dapat meleksanakan walaupun soal yang besar dan berat. Saudara-saudara, kita telah membangun Persyarikatan Muhammadiyah untuk mentaati perintah-perintah Islam yang bersumber kitab Al-Qur’an. Taatilah dengan sungguhsungguh menurut petunjuk dan sunnah Rasullullah serta dengan kepercayaaan yang yakin dan penuh semangat yang

giat.”Demikian sekedar penjelasan dari Sdr H.M. Syoedja’ sebelum rapat ditutup. Sebab sesungguhnya beliau merasa kecewa dan heran ketika mendengar gelak ketawa dari siding yang mengandung ejekan, karena merasa dikejutkan oleh jawabannya kepada pimpinan yang serba besar dan muluk- muluk seperti hendak membangun Hospital, arm huize dan wees huize. Sebenarnya Sdr. H.M. Syoedja' memang mempunyai keyakinan dengan pasti, bahwa segala apa yang dijawabkan dalam sidang itu sungguh-sungguh akan dapat terlaksana. Jawaban beliau itu bukan atas dasar kesombongan dan keyakinan yang pasti, itu bukan pula atas dasar perhitungan akal fikiran yang tepat menurut ilmiah, melainkan keyakinan yang pasti itu timbul dari kepercayaan yang penuh dan kuat akan perintah-perintah serta janji Allah Ta’ala dalam Al- Qur an dan Sunnah Rasul yang menjadi petunjuknya. Dalam Al-Qur an Allah Ta’ala telah berfirman dalam Surat Muhammad (47) ayat 7, yang artinya “Hai orangorang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu: Pula dalam surat Al-Ankabut (29) ayat 69, yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Allah, benar-benar akan Allah tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar

beserta orang-orang yang berbuat baik.” “Sekianlah tambahan keterangan pernyataan saya kepada pimpinan yang disambut dengan gelak ketawa oleh sidang ini malam, mudah-mudahanlah tambahan keterangan saya itu dapat menambah kesadaran Saudara sekalian adanya. Wassalamu’alaikum w.w. Terima kasih.” Demikian sekelumit uraian yang menggambarkan jalannya persidangan pada hari tanggal tersebut di atas yang menghasilkan keputusan yang sangat besar faedahnya dan bersejarah bagi Persyarikatan Muhammadiyah yang tidak dapat dilupakan oleh segenap anggauta Muhammadiyah lelaki dan wanita yang ada di masa ini dan masa yang akan datang.

Muhammadiyah Bertambah Pesat Pertumbuhannya dan Lancar Perkembangannya

Sejak H.B. Muhammadiyah meresmikan empat Bahagian dengan nama dan kedudukan sebagai pertama, H.B. Muhammadiyah Bahagian Sekolah (Pengajaran); kedua, H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh; ketiga, H.B. Muhammadiyah Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem dan keempat, H.B. Muhammadiyah Bahagian Taman Poestaka. Maka tampak sekali giatnya semangat para pengurus H.B. Bahagian-Bahagian itu melancarkan perkembangan tugasnya dalam Bahagian masing-masing. Dengan berjiwa fastabikul khairat, dan tidak saling berebut, mereka sama sibuk mengatur tempat kantornya dan segala perlengkapan untuk bekerja dan rapat-rapat pengurus Bahagian masing-masing dan sibuk pula mereka sama menyusun qaidahnya untuk dipermaklumkan kepada umum, untuk mendapat perhatian menjadi anggota pembantu (donatir) kepada bidangnya masing-masing. Alhamdulillah, dengan berkat usaha yang bersemangat giat itu hasilnya juga memuaskan, sehingga meriahlah gerak Muhammadiyah di kampung Kauman yang seolah-olah merupakan suasana baru. Buq’atun Mubarokatun. Pengajian Malam Jum’at yang dipimpin oleh H.B. Muhammadiyah makin ramai dan makin meriah, karena pengajian itu mewujudkan sistim baru yang sangat mudah dimengerti dan mudah pula dipersoaljawabkan dan segala soal dapat dijawab dengan terang dan jelas sehingga si penanya dapat menerima jawaban dengan puas dan merasa untung ikut serta menghadiri pengajian Muhammadiyah pada tiap-tiap Malam Jum’at itu. Memang adanya Pengajian Malam Jum’at dalam Muhammadiyah itu laksana memiliki sumber agung yang mempunyai mata air yang jernih suci murni serta mengandung zat obat yang sangat mujarab bagi barang manusia yang suka minum dengan menyebut nama Allah, Bismillahi arrohmani arrohim. Niscayalah manusia itu jadi sehat afiat dari segala penyakit yang bersarang dalam tubuh pribadinya. Baik penyakit yang mengenai Ruhani (jiwa), karena sumber agung (Pengajian Malam Jum’at) itu memberikan pelajaran agama Islam yang asli, ialah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan suci dan ikhlas hati, sepi ing pamrih rame ing gawe, hanya melulu menyampaikan Risalah Tuhan dan mengikuti jejak Nabi. Dengan meluasnya Pengajian Malam Jum’at yang diperkembangkan oleh murid-murid Malam Jum’at yang terpaku hatinya dengan keterangan gurunya dari Hadis “Ballighu anni walau ayah” di kampung sekitar kampong Kauman. Maka pengurus H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh merasa perlu menggembleng murid-murid Malam Jum’at yang sanggup menjadi Muballigh untuk dilepaskan sebagai anak panah guna menyampaikan Agama Islam di kampung-kampung dan dusun-dusun yang menghajatkan pelajaran Islam secara Muhammadiyah. Maka ternyatalah murid-murid yang sanggup menjadi anak panah H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh menjadi orang yang cerdas otaknya, tangkas dan jelas kata-katanya serta tabah hati karena iman dan keyakinannya. Sehingga mereka dapat julukan Mubaligh yang cêlêlêng, takat (tahan banting) menghadapi segala kesulitan dan rintangan. Dengan kesibukan H.B. Muhammadiyah menyusun barisan Muballighnya yang dikirim ke kampung-kampung dan ke dusun-dusun itu sangat mempengaruhi jiwa yang berbudi dermawan sehingga mereka ridha menyumbangkan kendaraannya buat para Muballigh yang menunaikan tugasnya baik yang berupa sepeda maupun kereta kuda atau kalau perlu motornya. Karena ternyata hasil usahanya menimbulkan amalan Islam yang menggembirakan kepada masyarakat pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya. Umpamanya, dengan adanya madrasah-madrasah dan sekolahan Muhammadiyah di kampung Kauman dan kampung-kampung sekitarnya itu sudah menghasilkan yang besar sekali bagi mereka yang mempunyai anak yang biasanya hanya dimanjakan dengan kemewahan belanjanya pada tiap hari untuk bekal main-main dengan kawan. Dan bagi mereka yang tidak mampu anaknya menjadi gedibal-nya (suruhan) anak-anak yang sama dimanjakan. Maka dengan sekolahan dan madrasah yang dibina Muhammadiyah, kaum muslimin tentu merasa untung besar, sebab selain daripada kepandaian anaknya, maka ibu dan ayahnya tidak terganggu kerewelan dan keborosan belanja anaknya dan usaha ekonominya lebih tentram dan sempurna tidak sebagaimana yang sudah-sudah terjadi tiap hari. Oleh karenanya bagi mereka yang menginsyafi tidak sayang lagi akan memberikan tunjangan yang sebanyak mungkin kepada Muhammadiyah. Dalam kesibukan H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh memperkembangkan tugasnya yang sangat meriah itu, H.B. Muhammadiyah Bahagian yang lain juga tidak mau ketinggalan, tetapi ikut serta pula memperkembangkan tugasnya masing-masing, sebagai fastabiqul khoirot, menuju ke bidangnya masing-masing. Dengan gerak bersama ini merupakan perubahan-perubahan suasana baru di kampong Kauman menjadi kampung yang hidup, yang ramai dan meriah di waktu siang dan di waktu malam. Di waktu malam mereka para pengurus H.B. Muhammadiyah Bahagian masing-masing, sedang di hari siangnya untuk melaksanakan keputusan sidangnya masing-masing juga. Pada masa itu H.B. Muhammadiyah banyak terlantarpekerjaannya karena anggota pengurusnya sama mengikuti gerak perkembangan dalam Bahagian-Bahagian yang sedang asyik usahanya. Dan masih banyak pemuda harapan yang masih di luar dari Muhammadiyah. Oleh karena itu Y.M. KHA. Dahlan bekerja keras serta dengan menggunakan segala kebijaksanaannya untuk menampung dan menghimpun pemuda-pemuda tersebut dengan jalan lain, tidak ditampung untuk menjadi pengurus Bahagian yang telah resmi dalam Muhammadiyah. Karena pemuda-pemuda yang akan ditampung itu salah duga terhadap KHA. Dahlan, bahwa diundang untuk berkumpul itu tentu akan dimurkai atas perbuatannya yang bertentangan dengan Muhammadiyah. Oleh karenanya 10 pemuda yang diundang itu, hanya empat sampai lima orang yang datang. Tetapi walaupun demikian KHA. Dahlan tidak menunjukkan rasa kecewa terhadap lima orang yangdatang tersebut, tetapi tetap gembira dan ramah-tamah, dengan bersenda gurau dan berhati-hati sehingga tidak menyinggung perasaan sedikitpun. Bahkan dengan sendagurau serta ramah-tamah KHA. Dahlan mengeluarkan uangnya untuk membeli kue yang paling lezat buatan Yogyakarta untuk dimakan bersama dalam ramah-tamah tersebut. Peristiwa demikian berulang kali pada tiap-tiap hari Jum’ah sehingga terdapatlah pemuda-pemuda yang dimaksud dan tertawan hatinya yang menjadi tulang punggungnya nanti. Barulah KHA. Dahlan membuka rahasia tujuannya dan golongan pemuda itu dinamakan Fathul Asror wa Miftahus Sa’adah yang dipimpin dan digembleng serta digodog oleh KHA. Dahlan sendiri sehingga yang matang godogan-nya dapatlah mereka itu digunakan tenaga dan kekuatannya baik moril maupun materialnya untuk Muhammadiyah yang sebaik-baiknya. Adapun yang mentah (gagal) tetap mentahdan hidup di luar Muhammadiyah.

KHA. Dahlan Menggembleng Kaum Wanita

Memang sejak lama beliau itu sudah menggembleng kaum wanita, sebab kaum wanita itu pada umumnya kurang pengetahuannya dalam soal agama terutama ibadah sholat lima waktu, karena kebiasaannya kaum wanita kurang mempelajari, sehingga sholatnya hanya merupakan perbuatan adat istiadat masyarakat kaum santri sehingga tertampaklah sholatnya tidak memperhatikan syarat rukun yang harus dipenuhi. Padahal sholat adalah suatu amalan ibadah yang paling pokok menjadi sumbernya segala amalan baik bagi umat Islam dengan ujian yang terutama dihari kiamat nanti. Apabila amal sholatnya lima waktu lulus dan menang dalam ujian, maka segala amal kebaikannyapun dapat diterima dengan sebaik-baiknya. Tetapi bilamana amal sholatnya gagal dalam ujian, maka segala amal baiknya hanyut tanpa jadi. Oleh karena itu memang sejak lama itu rumah beliau merupakan mushola bagi kaum wanita yang dipimpin dan diimami sendiri oleh beliau dengan bertabir kain kelambu di antara imam dan makmum yang kelihatan gerak geriknya imam tetapi tidak terang. Dan setelah selesai sembahyang Shubuh dengan wiridnya lalu dilanjutkan dengan pengajian wanita sampai jam tujuh. Inilah kaum wanita yang pada mulanya tidak berkudung (kerudung) tetapi setelah menerima wejangan dan gemblengan dari Y.M. KHA. Dahlan dengan serempak mereka ikhlas hati melepaskan perhiasan mereka yang di atas kepalanya lalu diganti dengan menutup aurat kepalanya sehelai kudung kain yang putih karena menunaikan kewajiban atas agamanya dan taqwa kepada Allah swt. walaupun mereka belum kesempatan menjalankan ibadah haji. Bahkan, bukan saja mereka suka penutup aurat kepalanya, tetapi ber-khumur dengan kain pelangi atau kain molas (kain sutra yang disulam dengan benang sutra) khusus buat pakaian diluar pakaian bagi kaum wanita, bilamana mereka itu keluar dari rumahnya. Demikian sedikit demi sedikit corak ragam muslimat yang mulanya terbuka pakaiannya dapat ditutup karena agamanya dengan cara yang baik dan rapih.

Menembus Benteng yang Tinggi dan Kuat

Walaupun Muhammadiyah sudah tegak berdiri di tengah-tengahnya kota Yogyakarta, negeri timbulnya Muhammadiyah bahkan terletak di pusat kampungnya kaum Muslimin, ialah kampung Kauman, namun demikian masih banyak juga orang Kauman yang jumud pikiran dan masih gemar menghidupsuburkan adat istiadat kuna dengan gugon tuhon-nya yang tidak ada asalnya dari peraturan Agama Islam, tetapi naluri warisan dari kakek moyangnya yang jahil murakab itu dengan menghambur-hamburkan uang dan tenaga untuk melaksanakan aneka warna selametan tinggalan dari orang tua-tuanya di masa lampau (wajad na aba ana wa laukana aba ahum la ya’qiluna syai’an), karena ternyata bahwa mereka itu tidak pernah kelihatan kunjung dalam Pengajian Malam Jum’ah yang diselenggarakan oleh H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh. Terhadap mereka yang demikian itu, KHA. Dahlan sangat rajin berkunjung kepada mereka dengan cara yang halus dan berhati-hati sampai dapatlah persetujuan bulat dan nyata, bahwa pengajian akan terbuka di salah satu tempat atau rumah yang dipandang perlu daripada rumah mereka yang mengandung kewibawaan terhadap calon-calon murid baru yang telah lama mendaftarkan hendak ikut serta mengaji di situ. Tentu saja muridmurid baru itu tidak terdiri dari murid-murid yang telah doyan pengajian di Malam Jum’ah. Dengan begitu, berarti benteng yang tinggi dan kuat sudah jebol dan runtuh remuk hancur tanpa bangkai. Maka terlaksana pengajian itu mula pertama sekali tiap-tiap minggu jatuh pada hari Kamis mulai jam 7 sampai 8 pagi, di rumah A berjalan satu bulan pindah ke B yang ingin ketempatan pengajian itu dan sanggup akan mengundang tetangganya yang boleh diharapkan hasilnya. Tetapi yang berketempatan pada hari Kamis mempertahankan jangan dipindah. Perundingan para murid dan guru diputuskan dari pengajian ditambah pada tiap-tiap hari Senin. Jamnya sama dan muridnya juga sama.Setelah ternyata agaknya pengajian itu semakin menjadi berkembang, maka untuk menguatkan tegaknya pengajian itu baiknya diorganisir, yakni dibentuk pengurus pengajiannya itu, untuk memelihara dan memajukan jalannya pengajian sehingga pengajian itu dapat membuahkan amal jariyah yang kekal tak akan putus pahalanya bagi mereka yang beramal. Kemudian terbentuklah organisasi pengajian itu yang terdiri dari para murid yang muhlisin yang berjiwa dermawan. Pengurus yang terpilih diantaranya Haji Bilal, Haji Ibrahim, Haji Mas’ud dan lain-lainnya yang dapat melayani bekerja dan berunding dengan tiga orang tersebut. Maka organisasi pengajian itu dinamai “Thoharatul Qulub”. Daripada kegiatan-kegiatan KHA. Dahlan yang sudah berusia tinggi itu masih saja berusaha membentuk badanbadan organisasi pengajian untuk menguatkan Muhammadiyah terutama di Yogyakarta. Umpamanya organisasi pengajian yang dinamakan Jamiatul Aba’, Jamiatul Ummahat dan lain-lain yang semuanya diberi tugas pembangunan masing-masing apa yang disanggupi, apakah surau, sekolah, atau balai pengajian yang termasuk dalam organisasi pengajian agar jangan lalu terhenti dengan begitu saja. Demikianlah KHA. Dahlan bekerja giat dan bersemangat mempertumbuhkan jiwa Muhammadiyah kepada penghuni-penghuni kampung yang masih dihinggapi penyakit gugon tuhon dan animisme atau adat-istiadat kuno yang sudah bobrok, dengan tidak mau mengenal capek dan payah, sehingga bila sudah merasa sakit, barulah beliau beristirahat, tidak keluar dari rumah dalam beberapa hari. Namun, tidak henti juga karena banyak soal-soal yang datang mohon penjelasan juga kepada beliau. Pun tamu masih diterima juga kalau beliau tidak sedang tidur.

Sopo Tresno

Sopo Tresno adalah suatu nama dari perkumpulan kaum wanita dewasa yang dipimpin oleh KHA. Dahlan dari penghuni wanita di kampung Kauman Yogyakarta yang telah digodok dari sumber agung sampai setengah matang. Kumpulanitulah yang dibebani tugas untuk berkhidmat kepada anak-anak yang terlantar pendidikan dan pengajarannyakarena kesukaran hidup orang tuanya, hendaknya anak-anak yang demikian itu disekolahkan oleh Sopo Tresno dengan sekurang-kurangnya membelanjai bayaran sekolah dan alat-alatnya. Oleh karenanya nama perkumpulan itu disebut “Sopo Tresno” yang artinya: “siapa berkasih sayang”. Walaupun godogan itu agak masih perlu dilanjutkan, tetapi gejala-gejala harapan yang baik sudah tampak dimuka kita. Alhamdulilllah, Sopo Tresno yang dibebani tugas yang berat itu dengan taufiq dan hidayat Allah swt. makin bertumbuh dan makin subur hidupnya. Maka perlu disusulkan bahan baru yang perlu digodog juga pemudi-pemudi kita yang bersekolah di luar sekolahan Muhammadiyah, ialah Netraalschool Boedi Oetomo di Yogyakarta yang terdiri daripada anak-anak dermawan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta, untuk turut diperhatikan godogannya dengan Sopo Tresno dewasa, tetapi harus dipisahkan waktunya karena sudah banyak ketinggalan pelajaran dan ketinggalan umur. Umur dewasa dan umur siswa. Pembagian waktu itu dibagikan oleh KHA. Dahlan untuk wanita dewasa pada jam 4-5, sedang bagi para siswa Netraalschool jam 5.15–6.15 sore, di salah satu ruangan StandaardSchool Muhammadiyah yang pertama (di muka rumah kediaman KHA. Dahlan) di Kauman. Pengajian golongan tersebut dapat langsung beberapa bulan dengan lancar. Menyimpang dari itu, perlu kami terangkan demikian; Dengan pembagian waktu yang rutin itu ada peristiwa yang sedikit beriwayat. Jam 4-5 menjadi waktu pengajaran untuk siswa dewasa. Jam 5.15 menjadi waktu murid Sekolah Netraalschool. Jadi, apabila murid sekolah Netraalschool masuk ruangan pengajian itu, mereka dapat melihat ajaran siswa dewasa yang masih tertulis dalam papan pelajaran itu. Kemudian diberitakan kepada seorang murid dewasa dengan secara perlahan-lahan sambil senda gurau yang tidak terasa, tetapi senda gurau itu makin hari makin tambah menjadi sampai menyinggung perasaan siswa dewasa. Oleh karena murid-murid sekolah masih bersifat anak sekolah, maka siasat murid dewasa untuk melenyapkan yang demkian itu, maka sehabis tiap-tiap belajar, tulisan pelajaran di papan lalu disapu bersih sampai tidak berbekas. Kemudian setelah murid-murid sekolah masuk ruangan pengajian tidak lihat lagi tulisan bekas pelajaran murid dewasa maka kecewalah diantara mereka yang sombong dengan berkata, Lha, inilah akalnya mbak-mbak kaum gagak, yakni burung gagak yang hitam bulunya. Karena murid dewasa pakainya masih serba warna yang gelap, belum sampai hati akan memakai warna yang cerah. Sedang murid sekolah di luar sekolah Muhammadiyah dan memang dasarnya masih kanak-kanak, mereka berpakaian dengan warna yang terang dan berkotang. Lama-lama murid dewasa lupa dewasanya, mengatakan pada murid yang sekolah “kaum kuntul”, yakni burung kuntul yang putih bulunya. Dengan timbulnya kata-kata “gagak” dan “kuntul”, maka nama itu menjadi faktor olok-olokan diantara kedua fihak di luar pengajian, sehingga lama-lama menjadi hebat juga di antara dua golongan tersebut dan menjadi pertengkaran ramai. Seorang suami dari pada murid dewasa yang sering mendengarkan olok-olokan dua golongan itu mencampuri dengan menyerukan kepada murid dewasa dengan kata yang seram, “Tabrak saja biar rame, kalau ada yang membela aku yang akan menghadapi”. Dengan seruan tersebut kuntul-kuntulnya sama takut lalu terbang melayang ke angkasa, lalu mengadu kepada bapak guru dengan menunjukkan ketakutannya. Bapak guru setelah menerima wadulan itu agak sempurna, lalu tersenyum sambil menjawab, Yah, nanti saya urusnya. Tetapi batinnya bapak guru (KHA. Dahlan) memperhatikan benar- benar untuk menjaga perpecahan dua golongan “gagak” dan “kuntul” itu. Dengan kebijaksanaan bapak guru dan siasatnya yang lembut, dua golongan yang bertengkar itu dengan tidak terasa tertekan dapat dipergabungkan menjadi satu dalam badan Sopo Tresno dengan sama-sama lega dan gembira, walaupun waktu pengajiannya masih tetap masing-masing.

Membentuk Bahagian Aisyiyah

Pengajian Sopo Tresno tetap terus langsung sepanjang waktu, sampai Sopo Tresno dibentuk menjadi Aisiyah yang ditugaskan memelihara anggota Muhammadiyah golongan wanita. Dan dibentuklah pengurus-pengurusnya yang terdiri dari anggota Sopo Tresno yang sama memiliki kepandaiandan kecakapan untuk memegang pimpinan Aisiyah. Tentu saja pilihan itu pilihan yang terpimpin karena keadaan yang baru pertama kali. Dengan terbentuknya Aisyiyah dan disusunnya pengurus-pengurusnya, maka dengan sendirinya hapuslah Sopo Tresno dari lingkungan masyarakat kaum wanita dalam Muhammadiyah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, mudahmudahan terbentuknya (lahirnya) Aisyiyah senantiasa dikaruniai Allah dengan taufiq dan hidayat-Nya. Amin.

KHA. Dahlan Sudah Kelihatan Tua

Memang KHA. Dahlan sudah kelihatan tua karena usianya sudah lebih tinggi daripada para pemuda yang mendampinginya. Tetapi jiwanya penuh bersemangat dan masih giat serta rajin bekerja, tidak kalah tenaganya dari pada pemuda-pemuda yang sama mendampingi beliau. KHA. Dahlan memang seorang yang besar jiwanya dan tebal imannya serta teguh pendiriannya, pun nyata pula keyakinannya, seolah-olah apa yang telah diyakini itu telah tampak dimukanya. Oleh karena itu, rasa tua dan usia tinggi itu tidak dapat menghambat kehendak yang ikhlas dan murni sehingga apa yang dimaksud harus tercapai. Pada masa itu beliau sedang memperhatikan terlaksananya membina (membangun –yasa jw) mushalla yang agak besar-besaran untuk menampung murid-murid wanita yang telah sekian tahun dididik, diasuh dan diberi pelajaran Agama Islam pada umumnya, teristimewa dalam bidang peribadatan, akhlaq (budi pekerti) dan kewanitaan. Oleh karena Muhammadiyah sudah mempunyai Bahagian pembangunan, yang diberi nama Bahagian Yayasan yang diketuai oleh Sdr. H. Abdulgani Irfan, maka bangunan Mushalla diserahkan pelaksanaanya kepada Bahagian Yayasan tersebut. Letaknya Musholla itu di dalam kampung Kauman sebelah barat Masjid Agung Yogyakarta.

Membentuk Bahagian Penolong Haji

Berhubung pulangnya Sdr. (almarhum) H. Fakhrudin dari Makkah pada tahun 1921 membawa laporan baik tentang Muhammadiyah di sana, maka terharulah KHA. Dahlan dengan keadaan di negeri suci itu, dan justru tahun itu, tahun pembukaan pintu gerbang rakyat Indonesia dibolehkan pergi haji oleh pemerintah Belanda akibat perang dunia yang pertama sudah selesai, jalan pergi haji sudah akan kembali sebagai sedia kala. Pembentukan Bahagian Penolong Haji itu diketuai oleh KHA. Dahlan sendiri disekretarisi oleh R.M. Prawirowiworo, seorang anggota H.B. Muhammadiyah yang juga seorang anggota dari Boedi Oetomo yang sangat simpati kepada Islam, terutama terhadap pribadinya KHA. Dahlan yang lemah lembut tabiatnya dan tenang tetapi bijaksana. Keuangannya Sdr. H.M. Mukhsin, pemilik Toko Mori dari Pasar Kotagede, dibantu oleh H.M. Syoedja' dan M.Wiryopertomo dari anggota Pengajian Taqwimuddin dan seorang lagi yang saya lupa. Rupanya KHA. Dahlan membentuk Bhg Penolong Haji itu seolah-olah melengkapi faktor-faktor Islam untuk menyempurkan cita-cita (maksud) Muhammadiyah menghidup suburkan Agama Islam, sehingga terleksana masyarakat Islam yang teratur dengan sebaik-baiknya. Setelah Bhg. Penolong Haji dibentuk, tersiarlah berita Penolong Haji ini kepada umum, dengan maksud menolong kesukaran dan kesulitan jamaah haji selama dalam perjalanan dari Indonesia sampai Tanah Suci Makkah dan pondokan pondokannya sampai pulang kembali ke tanah air Indonesia. Maskapai-maskapai pelayaran haji di Batavia (Kongsi Tiga) pun ikut juga berhubungan dengan Muhammadiyah Bhg Penolong Haji. Bahkan pada tahun itu, 1922, ada maskapai pelayaran haji yang lain dari India N.V. H. Hasan Nijmase yang agennya di Batavia, dipegang oleh Tn. Jansen, ingin sangat berhubungan dengan Bhg Penolong Haji. Berhubung dengan beberapa kepentingan Muhammadiyah yang lain, KHA. Dahlan berangkat ke Batavia dengan diikuti Sdr. R.M. Prawirowiworo sebagai penulis dan Sdr H.M. Syoedja' sebagai pembantu Bhg Penolong Haji Muhammadiyah untuk bertamu dan berunding dengan Maskapai pelayaran pengangkut jemaah Haji (Kongsi Tiga) Mij. dan Pelayaran yang lain. Oleh karena kapal Hasan Nijmase masih belum dapat ditentukan berangkatnya karena beberapa yang harus diselesaikan lebih dahulu, maka KHA. Dahlan tidak perlu mengambil perhatian kepada maskapai pelayaran tersebut. Dan berunding saja kepada salah satu pelayaran Kongsi Tiga Mij. Pelayaran Nederland yang pada waktu itu agentnya dipegang oleh Tn K. Keller, untuk merundingkan angkatan Haji tahun itu yang sudah didaftar oleh Muhammadiyah. Setelah selesai soal Haji yang telah didaftar, Tn K. Keller berbisik-bisik kepada KHA. Dahlan dengan secara rahasia, “Kiyai, apakah Muhammadiyah dapat menampung jamaah haji sampai 1000 orang untuk maskapi Nederland? Dijawab, “Kalau bisa bagaimana?” Tn Keller mengatakan, “Kalau bisa maskapi Nederland akan memberi harga special untuk harga tiket 50% buat Muhammadiyah.” Kyai mengatakan, karena waktu sudah sempit kami kira kemungkinan tidak dapat, “Kalau biasa dapat 750 jamaah?” “Juga masih tidak mungkin. Tetapi kalau kurang dari 750, umpam500 orang bagaimana?” Keller menjawab, “Yah, boleh saya kasih spesial pris 50%. Tetapi ini rahasia tidak boleh dengan Maskapi Kongsi Tiga yang lain.” “Yah, kami pikir dahulu,kalau mungkin akan kami usahakan.” Pada tahun itu, 1922, harga tiket 360 gulden dan uang broker 60 gulden tiap tiket. Selesai perundingan angkatan Haji yang sudah didaftar, lalu kita minta diri pulang ke hotelpondokan kita. Selama kita meninggalkan kantor Maskapi Pelayaran itu, dengan rasa yang tidak ridha KHA. Dahlanberkata, “Kalau sedemikian besar kongsi-kongsi pelayaran angkut jama’ah Indonesia menggaruk keuntungan dari kaum Muslimin yang pergi haji, maka Muhammadiyah harus dapat menegakkan Pelayaran sendiri, walaupun cara bagaimana bentuk ragamnya pelayaran itu.”*)

*) Kata-kata K.H.A Dahlan yang demikian diterima oleh sdr. H.M. Syoedja’ sebagai kata wahyu dalam hati sanubari yang tidak lenyap-lenyap dalam beberapa tahun yang lampau sehingga terleksana membentuk suatu N.V. Pelayaran dan Dagang Indonesia yang absah dengan besluit Departement van Justiti tanggal 18 Januari 1941 No. A 42/2/9.

Sesampai di pondokan kita sama beristirahat, sesudah sembahyang Maghrib KHA. Dahlan disertai kita berdua R.M. Prawirowiworo dan sdr. H.M. Syoedja' pergi ke Kepuh Utan Panjang, mendatangi Pertemuan Muhammadiyah yang hendak diterangkan oleh KHA. Dahlan terhadap para simpatisan dari penduduk kampung tersebut. Yang kira-kira akan dapat menerima Muhammadiyah dihari mendatang. Ceramah berjalan mulai jam 8 sampai jam 11.30. Ceramah itu dapat memuaskan kepada hadirin yang ± 20 orang, kebanyakan penduduk dari Jawa Tengah. Karena pada waktu itu Batavia masih merupakan kota yang sepi, maka pulangnya KHA. Dahlan yang disertai kedua temannya cukup berjalan. Masya Allah, La haula wa la kuwwata illa billah. Jalan gelap karena listrik belum ada, yang ada lampu gas dan sebagian sudah dipadamkan dan kendaraan tidak ada. Jadi kita terpaksa pelahan jalan kaki dari Kepuh Utan Panjang sampai hotel di Pasar Glodog. Kalau kita berdua masih muda-muda, tetapi KHA. Dahlan memang sudah berusia lanjut dan banyak bekerja. Padahal dalam perjalanan malam itu angin meniup agak sedikit kencang. Sampai di hotel ± jam 2 malam. Sedianya kita terus mau tidur karena capai dan ngantuk, tetapi karena suara orang keluar masuk dan naik turun ke atas tidak henti-hentinya walaupun tubuh direbahkan, kepala diletakkan di atas bantal serta mata dipincingkan, namun tidur tidak berhasil. Sehingga KHA. Dahlan keluar dari kamar duduk di kursi, makan sisa buah duku yang dimakan sore. Tiba-tiba duku ditelan terasa seret masuknya, sehingga merasa sesak di dadanya dan batuk-batuk akhirnya merasa sakit dan memberi tahu bahwa pagi ini akan pulang ke Yogyakarta dengan spoor yang paling pagi berangkat dari Gambir supaya sore sudah tiba di Yogyakarta. Kami berdua yang menyertai beliau tidak sampai hati akan melepaskan beliau pulang ke Yogyakarta dengan sendirian, karena kami berdua melihat memang betul-betul sangat payah dan sakit. Sekalipun sesungguhnya pekerjaan masih ada yang perlu diurus kepada seorang Arab yang hendak memberi bantuan uang kepada Muhammadiyah. Jam 5 senja, alhamdulillah, kami bertiga tiba di Yogyakarta dengan selamat, tetapi KHA. Dahlan memang terus sakit, tetapi hanya perlu beristirahat dalam beberapa hari saja sehingga tidak perlu diperiksa dokter. Sesudah istirahat beberapa hari, KHA. Dahlan sudah sembuh dan sehat kembali, lalu mengundang kawan-kawan pengurus H.B. Muhammadiyah untuk turut memberikan pertimbangan berhubung dengan sudah dekat waktunya pemberangkatan jemaah haji, siapakah yang diutus untuk mengantar dan memimpin dalam perjalanannya ke Makkah dan pulangnya. Pada mulanya KHA. Dahlan telah merencanakan yang akan diutus ialah H.M. Syoedja' dan R.M. Prawirowiworo, tetapi karena menghadapi vergadering tahunan Muhammadiyah, jaar vergadering tahun 1922, maka beliau sebagai sekretaris H.B. Muhammadiyah perlu dipertahankan jangan diutus ke Makkah, tetapi utusan itu boleh diganti dengan orang lain. Kemudian utusan itu diganti dengan Sdr. Wiryopertomo anggota B.O. yang lebih muda lebih kuat dan cakap untuk menyertai sdr H.M. Syoedja’. Dengan gantinya kawan kami sebagai utusan dengan Sdr. M. Wiryopertomo dapat kami terima dengan segala senang hati, karena Saudara itu muda gagah perkasa, cakap cukup serta mempunyai kesanggupan 100% mengurbankan tenaganya untuk ikut serta melayani dan memimpin jamaah disepanjang perjalanannya. Alhamdulillah. Selain dari itu tugas memimpin jemaah haji, Sdr. H. M. Syoedja’ diberi tugas untuk menyampaikan tentang Muhammadiyah kepada para alim ulama bangsa Indonesia yang mustauthin lama di Makkah untuk diketahui dengan diperlengkapi dengan alat-alat Muhammadiyah anggaran dasar dan rumah tangga dan buku-buku Bhg Pengajaran Bhg Tabligh dan gambar-gambar fotonya. Hari berangkatnya jemaah haji dari kampungnya sudah tiba, pada malam perpisahan kami (H.M. Syoedja’) dengan keluarganya sudah terleksana, koper seharah dan alat-alat perlengkapan Muhammadiyah sudah siap tersedia. KHA. Dahlan malam-malam datang menjenguk kami di rumah dengan rasa gelisah karena merasa bahwa dirinya sudah tua dan berusia tinggi, sehingga rasanya sudah tidak lama lagi akan meninggalkan Muhammadiyah yang selama- lamanya. Karena sudah sering diserang bahaya kesehatan, kesehatan sering terganggu. Padahal menoleh ke belakang, ke kanan ke kiri belum ada seorang alim yang sebakat dengan beliau untuk menjadi kawan bekerja dalam Muhammadiyah selama hidupnya dan untuk menjadi ganti bila nanti sudah meninggalkannya. Hanya satu yang menjadi harapannya yang besar, ialah K.H. M. Baqir bin Noor yang telah puluhan tahun mustauthin di Makkah dan sudah anak beranak di Negeri Suci itu. KHA. Dahlan berkata dengan seret suara, tetapi jelas terdengarnya. Umur KHA. Baqir itu lebih muda daripada KHA. Dahlan kurang lebih 16–17 tahun. Tabiat dan istiadatnya sangat mirip dengan KHA. Dahlan. Dan memang keponakan daripada Nyai H.A. Dahlan. Dan besar kewibawaannya terhadap kepada anak murid dan orangorang yang mengenal dengannya. Pertama, dengan suara yang seret tetapi terang dan keras isinya, KHA. Dahlan berkata, “Syoedja', persiapanmu sudah selesai?” “Sudah Kyai.” “Sekarang tinggal satu amanatku, kau sampaikan kepada Baqir, berikan salamku kepadanya dan Baqir disuruh pulang ke Jawa, ada apa di Makkah sana? Kalau ia menjawab mengajar murid-murid yang belajar di Makkah sini sumbernya ulama dari segala bangsa yang mengajar kepada murid-murid bangsanya yang sudah sama-sama Islam dan memang Makkah sumber agama Islam, sumbernya pengajar dan pelajar Islam di dunia. Pendeknya, kau jangan kalah alasan Baqir akan bertahan diri di Makkah itu. Kalau ia mau pulang ke Jawa tetapi memajukan syarat-syarat yang dibutuhkan, sanggupilah dan penuhilah syarat-syarat itu, asal dia mau pulang”. Kedua, “Nasehatkan kepada para jamah haji sedapat mungkin supaya hajinya makbul dan mabrur serta dengan bijaksana. Biasanya jiwanya jamaah itu, lebih besar ziarah ke makam Nabi daripada jiwa haji di Makkah. Sehingga tidak menghitung rugi dan untungnya amalan itu, karena kepicikan ilmu agamanya.” Biasanya orang haji yang tidak ziarah ke makam Nabi karena sesuatu hal yang merintangi dalam perjalanan, mereka merasa tersisih dari pada ummat Muhammad. Padahal, tidak ada secuil dari seruan Nabi yang mengundang umatnya hendaknya berziarah pada makamnya sesudah Nabi mangkat meninggalkan sahabat dan umatnya, tetapi bahkan mencegah, “Janganlah kamu jadikan rumah kamu jadi kuburan, dan janganlah kamu jadikan kubur kami jadi perayaan, bacalah shalawat atasku, maka shalawat kamu itu akan sampai kepadaku dari mana berada”. Radhiyallahu ‘anhu Abu Daud dengan isnad Hasan dan banyak sekali hadis yang semaksud dengan itu. Hanya ada satu hadis membolehkan umat Islam berziarah, tetapi tidak pada kubur, melainkan kepada masjid, ialah Masjid Haram di Makkah, Masjid Nabi di Madinah dan Masjidil Aqsa di Jerusalem Palestina. Ziarah kepada masjidmasjid tersebut tidak untuk mendoa kepada masjid dan untuk mengajukan permohonan kepada masjid, tetapi untuk menghormat dengan sholat takhiyyatul masjid. Lain tidak. Tetapi, dalam perhitungan laba ruginya jamaah pergi ke Madinah itu dengan mengingat pengurbanan selama dalam perjalanan mengarungi sahara lautan pasir yang sangat terik selama kurang lebih sebulan pergi pulang Makkah ke Madinah dengan kafilah, sangat besar kerugiannya karena yang dikejar paling besar dan paling tinggi ialah amalan yang berpahala sunnat, tetapi pengurbanannya sangat besar musyakat dan sering sampai meninggalkan waktu sholat, karena kafilah sering terlambat sampainya di tempat pemberhentian tertentu. Karena si Baduwi penunjuk jalan, harus mendapatkan pemberhentian yang ada sumur dan pasarnya, sehingga jamaah haji dapat berbelanja untuk kepentingannya. Sehingga waktu shalat sudah habis. Lebih besar lagi masyakat-nya bagi kaum wanita. “Inilah amanatku, kausampaikan kepada yang punya hak sebaik baiknya.” Insya Allah kedua amanat tersebut akan kami perhatikan tetapi yang kedua itu sungguh berat akan kami sampaikan kepada umumnya jama ah haji, tetapi akan kami sampaikan kepada jamaah kami. Tetapi bagi amanat yang pertama insya Allah akan kami perjuangkan dengan sekuat tenaga dan kemampuan kami. Insya Allah. “Besuk jam berapa berangkat dari rumah? “ ”Kalau tidak ada halangan, sudah kami permaklumkan jam 8 dengan jalan kaki sampai di stasiun Tugu.” Dengan gantinya kawan kami sebagai utusan dengan Sdr. M. Wiryopertomo dapat kami terima dengan segala senang hati karena Saudara itu muda dan gagah perkasa, cakap cukup serta mempunyai kesanggupan 100% mengurbankan tenaganya untuk ikut serta melayani dan memimpin jamaah di sepanjang perjalanannya. Alhamdulillah. Jam 8.30 kita bersama dengan jamaah haji lainnyaberangkat dari Stasion Yogyakarta menuju ke Batavia, jam 5 sore senja sampai Stasion Batavia Kota terus menuju ke Pondokan di kampung Pekojan. Tanggal 9 Rajab jam 10, kita berangkat ke Tanjung Priuk, setelah selesai segala peperiksaan di gudang Pelabuhan Mij Nederland yang perlu untuk menumpang kapal. Jam 2 lepas tengah hari jamaah haji diperkenankan turun masuk kapal yang sudah bersiap di hanggar pelabuhan itu, ialah kapal Kambangan namanya. Setelah semua jamaah di atas kapal, tiba-tiba Sdr. Wiryopertomo tidak kelihatan ada dengan kawan-kawan jemaahnya di atas kapal, dicari justru ketemu ia tertidur di gudang pemeriksaan karena kepayahan tenaganya mengurusi barangbarangnya jamaah. Lalu dibangunkan, setelah dia sadar melihat bahwa di gudang sudah tidak ada manusia lagi, maka ia mengira sudah ketinggalan dan merasa bingung terburu lari, tetapi ditahan, jangan lari masih ditunggu kawan dalam kapal. Lalu turun ke kapal. Kepayahan Sdr. Wiryoper tomo itu kecampuran masuk angin dan sedikit panas badannya. Lalu ditolong oleh kawan-kawannya, alhamdulillah lantas kelihatan sehat dan baik. Jam 5 sore kapal mendengungkan sirine-nya 3 kali tanda akan meninggalkan tanah Jawa menuju ke Padang dengan melalui Samodra Tanjung Cina. Jam 11 malam kapal Kambangan sudah masuk lautan Tanjung Cina dengan disambut dengan sambutan yang hangat oleh gelombang yang terkenal di situ dengan didorong angin besar yang kencang, sehingga serempak corong-corong jalan angin yang mendalam ke kapal mendengung bersama, sehingga yang tidur serentak bangun dengan terperanjat dan ribut sama mencari perlindungan dirinya. Ada diantaranya yang menjerit mengundang Syaich Abdulkadir Jailani untuk menolong mereka. Ada yang menggembor mengundang Nabiyullah Khaidir supaya melindungi dia dan keluarganya. Ada pula yang menyerukan adzan dan ada yang lucu dengan diam-diam perintahkan kepada istrinya keluarkan tali pinggangnya yang panjang (bengkung) ujungnya untuk mengikat dirinya dan ujung yang sebelah si istri dan sisa yang tengah dibalutkan ke tiang kapal yang ada disampingnya dan keduanya lalu sama duduk atau berbaring di veldbed yang telah terikat tiang tersebut. Kemudian karena kencangnya angin dan besarnya gelombang yang mengamuk itu bemaning kapal sama memakai mantelnya, memerintahkan orang-orang di atas dek disuruh turun ke palkah. Alhamdulillah, kami dengan jamaah kami diperkenankan tetap tingal di atas dek. Dengan keadaan gelombang laut yang mengamuk itu, tentu saja mengakibatkan kejadian kejadian seribu satu macam yang tidak enak. Umpamanya, orang yang muntah, orang yang keluarkan najis di tempatnya masing masing, tetapi kejadian itu tidak dapat disalahkan oleh para bemaning kapal yang mempunyai tugas membersihkannya. Alhamdulillah, ribut yang besar itu sampai jam 1 lepas tengah malam sudah reda kembali dan kapal sudah berjalan dengan tenang. Kambangan sudah berjalan 2 malam 1 hari. Jam 8 pagi hari yang ke-2 sudah masuk di pelabuhan Padang dengan selamat. Di situlah M. Wiryopertomo hidup kembali dengan sehat wal afiat. Ia lalu akan menunjukkan derma baktinya dengan tenaga dan kecakapannya. Ia mengambil (membeli) 2 ekor ayam babon yang gemuk-gemuk lantas dipotong dan masak menurut kehendaknya, setelah selesai dihidangkan kepada kawan-kawan sebagai tambahan lauk-pauk makan siang. Memang benar, ia mempunyai kecakapan memasak yang sedap yang tidak kalah dengan masakan kaum wanita yang biasa dipandang pandai memasak. Satu malam kapal Kambangan menginap di pelabuhan Padang, pagi harinya melanjutkan perjalanannya menuju Kamran, tempat karantina. Sejak kapal bergerak meninggalkan Padang, Wiryopertomo kembali lagi mendekam di atas veldbed-nya, malah kelihatan makin surut kekuatannya, sehingga diwaktu turun dari kapal diturunkan dengan brankart. Satu malam tinggal di Kamran, siangnya kembali ke kapal terus menuju Jeddah. Tiba di Jeddah kurang lebih jam 11 hampir tengah hari. Selanjutnya setelah para jemaah sama diterima oleh syaikhnya masing-masing dan kami berdua dengan Sdr. Wiryopertomo selesai mengurus barang dari Jumruk, lalu kami diangkut juga oleh Syaikh Ahmad Kudus ke pondokannya. Kemudian kami berdua dijemput oleh Sdr. Haji Mas Heerjan untuk tinggal di rumahnya. Justru kebetulan Sdr. Wiryopertomo lantas dapat rawatan yang baik di rumahnya selama 2 hari 3 malam. Dengan gembiranya Sdr. Wiryopertomo dirawat itu ia menyatakan kepada kami dimuka Sdr. Dokter Heerjan, “Bahwa umpama beristirahat di Jeddah barang satu minggu, insya Allah saya dapat sehat kembali 100%.” Pernyataan itu kami terima dan kami setujui, dengan kata kami, “Baiklah kalau sekiranya demikian tinggallah di rumah Sdr. Dokter, tetapi kami harus melanjutkan perjalanan menyampaikan jamaah ke Makkah. Sedang Sdr. Wiryopertomo menyusul bersama dengan jamaah Syaikh yang akan datang di belakang hari”. Dari setianya Sdr. Wiryopertomo sebagai utusan H.B. Muhammadiyah menjawab, “Tidak bisa, kalau Bapak terus berangkat sekarang, sayapun mesti ikut serta walaupun saya mati di tengah jalan.” Kami menjawab, “Yah, kalau mati ditengah jalan, kalau hanya sakit saja, tentu kami akan menemui segala kesukaran dan pekerjaan tidak selesai.” Sdr Dr. Heerjan memberikan jalan tengah demikian, “Baiknya Sdr. Mas Wiryopertomo turut serta berangkat sekarang, tetapi harus membawa obat untuk penyakitnya dan harus tidak melanggar pantangan penyakitnya. Kami menyediakan obat-obatnya dan apa yang perlu buat Sdr. M. Wir selama perjalanan dari Jeddah sampai di Makkah. Dan nanti ada dokter lagi di sana kalau masih perlu berobat.” Nasehat Sdr. Dokter Heerjan tersebut kami berdua menerima dengan baik dan senang hati. Akhirnya kesanggupan Sdr. Dr. Heerjan dilaksanakan kepada Mas Wir sendiri karena H.M. Syoedja’ mengurusi soal lain dalam pemberangkatan besuk pagi itu. Sehabis sembahyang Subuh, jemaah dari beberapa Syaikh sudah sama ribut mengatur sekedup dan bekalnya masing-masing tempatnya serta sudah sama memakai kain ihramnya dan sudah niat umrah. Kamipun demikian juga, setelah persiapan lengkap Sdr. Wiryopertomo kami perintahkan berpakaian ihram dan berniat umrah lalu naik sekedup terus berangkat menuju Makkah dan masing-masing membaca talbiyah, dengan suara nyaring atau tidak nyaring. Perjalanan Jeddah-Makkah sesungguhnya tidak jauh, jaraknya hanya 75 kilometer, tetapi karena dengan sekedup, perlu menginap di tengah-tengah perjalanan satu malam bermaksud hendaknya sampai di Makkah tengah hari atau paling lambat senja. Kami dan jamaah kami yang tinggal di pondokan di Makkah tiba di Makkah jam 2 siang lepas tengah hari dengan selamat tidak kurang satu apa. Kecuali Sdr. Wiryopertomo yang tiba di Makkah dengan sakit tetap sakit juga, malah keadaan sakitnya bertambah. Karena melihat gejala-gejalanya memang sudah takdir Allah, serta ingin mukim abadi di negeri suci Makkah Musyarrofah, gejalanya seperti:

a. Dari Jeddah telah disediakan dua macam obat oleh Sdr. Dr. Heerjan, untuk dimakan tiga kali sehari, dua-duanya ketinggalan di Jeddah.

b. Melanggar (makan) pantangan penyakitnya yang telah dilarang oleh dokter (makan semangka).

c. Waktu tiba di Makkah sedang beristirahat di tempat teduh diserang angin samum yang kencang dan kuat sampai jatuh terpelanting dan lantas lemah tak berdaya.

d. Dua kali minum obat 500 cc yang mestinya diminum tiap dua jam satu sendok makan, tetapi diminum dengan sekaligus. Pada hari yang kelima ada di Makkah, Sdr. Wiryopertomo telah mengakhiri riwayat hidupnya pada waktu Subuh. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Tamat.

Muhammadiyah Disangka Golongan Wahabi

Selang satu hari daripada meninggalnya Sdr. Wiryopertomo, datanglah tiga orang khatib dari Kantor Qadlil Qudlat (Hoofd Panghulu) yang dipimpin oleh seorang Mudir Syarthoh (Kepala Polisi), diiringi oleh Syaikh Noor dan Ahmad Qudus yang kami pondoki di rumah pondokan kami. Bermaksud untuk mengurusi tirkah-nya Sdr. Wiryopertomo almarhum. Setelah kami persilahkan duduk, Mudir Syarthoh bertanya kepada kami, “Tuan nama siapa?” Kami jawab, “Saya nama Haji Muhammad Syoedja’.” “Rumah dimana?” “Rumah saya di Yogyakarta tanah Djawa.” “Residentsinya dimana?” “Residentsinya di Yogyakarta.” “Yang meninggal ini namanya siapa?” “Namanya Wiryopertomo.” “Rumah di mana?” “Rumahnya di Yogyakarta juga.” “Tuan kebener apa-apa dengan dia?” “Saya kebener ‘ammi-nya, anak dari saudara saya.” “Jadi tuan dengan dia satu negeri dan satu residentsi?” “Betul.” “Pasnya mana?” “Ini pasnya,” (saya berikan kepada Khatib-nya). “Surat tiket dimana?” “Surat tiketnya ada di tangan Konsul di Jeddah!” “Ah, tidak bisa tiket ada di tangan Tuan Konsul, selamanya tiket mesti ada di tangan orang haji masing-masing.” “Oo, jadi kalau demikian tuan tidak percaya pada kami?” “Ya sudah tentu, sebab tuan tidak omong sebenarnya.” “Oo, kalau demikian Tuan kira saya bohong?” “Cobalah tuan periksalah dalam kulit surat pas itu, ada stempel tanda pengakuan surat tiket ada padanya!” Khatib lantas sama menyatakan kebenaran pernyataan keterangan kami, maka Mudir Syarthoh ada sedikit kacau wajahnya, lalu menanyakan barang tirkah yang lain. “Mana barang-barang yang lain? Kopernya Wiryo kami buka dan kami keluarkan isinya, satu serban Kisymir lama, dua baju jas juga lama, baju dalam dua dan celana dalam tiga, sabuk tali pinggang satu dan trompah kulit satu. Kemudian Mudir Syarthoh menanyakan “Mana uangnya?” Kami ambil dari saku tali pinggangnya terdapat tiga sen. Saya tunjukkan bahwa uangnya tiga sen. “Uang apa itu?” “Uang sen.” “Uang yang lain mana?” “Uang yang lain tidak punya.” “Masya Allah, tidak ada orang pergi haji tidak punya uang. Apa lagi orang yang mati itu baru berapa hari datang di Makkah ini.” “Kenapa Tuan berkata tidak ada orang pergi haji tidak punya uang padahal ada, yalah Wiryopertomo yang telah mati itu!” “Apa sebab dia tidak punya uang bisa sampai di Makka sini?” “Dia pergi haji itu atas ajakan saya dan saya pula yang menanggung segala ongkosnya sampai pulang ke tanah air kalau dia masih hidup.” “Apa diartikan khadam?” “Boleh Tuan disebut khadam.” “Masya Allah, selama hidup kami belum pernah lihat orang Jawa pergi bawa khadam dari tanah Jawa.” “Maka sekarang Tuan melihat dan tahu orang Jawa pergi haji bawa khadam, ialah saya H.M. Syoedja’ dari Yogyakarta.” “Yaa, saya tidak percaya!” “Kalau tidak percaya boleh Tuan bertanya kepada jamaah yang ada ini!” “Saya tidak perlu tanya orang lain.” “Kalau Tuan tidak perlu Tanya kepada orang lain, sekarang saya bertanya kepada Tuan, Apakah Tuan datang menanya kepada kami ini atas kehendak Tuan sendiri, atau adakah yang memerintah kepada tuan?” “Oo, tuan saya kasih tahu, Raja Belanda yang ada di Nederland itu sudah ada perjanjian kepada Raja Makkah di sini, kalau rakyat Belanda pergi haji lantas mati di sini, pemerintah Makkah mesti bikin pemeriksaan tirkah-nya orang yang mati, rupa dan warna apa saja lantas dilaporkan kepada wakilnya Raja Belanda yang ada di Jeddah dengan laporan yang betul-betul benar. Kalau saya laporkan orang haji yang mati itu tidak punya duit dan lain-lainnya, tentu laporan itu tidak dipercaya!” “Kalau demikian lebih baik tuan bikin laporan yang singkat, bahwa Wiryopertomo yang telah mati, menurut keterangan Haji Syoedja’, dia tidak punya uang kecuali tiga sen saja.” “Kalau saya bikin laporan yang demikian itu kepada wakil Raja tuan, Raja Belanda, yang ada di Jeddah itu, tentu tidak dipercaya! Kalau wakil Raja Belanda yang ada di Jeddah tidak percaya, tentu saya akan dipanggil menghadapnya untuk diperiksa sendiri. Tuan berani menghadap dan bicara dengan Wakil Raja Belanda?” “Ya saya berani!” Mudir Syarthoh rupanya sudah kehabisan jalan pikirannya, lalu menegur kepada Syaikh Noor, “Syaikh, ini orang apa? Saya belum pernah ketemu orang sepertinya.” Syaikh menjawab, “Orang Jawa juga, tetapi sudah masuk menjadi anggota Muhammadiyah.” “Muhammadiyah itu apa?” “Muhammadiyah itu jamaah umat Islam di tanah Jawa.” Lalu bicara kepada Syaikh Muh. Noor Kudus, supaya dapat mengeluarkan Wiryopertomo dari tangan kami, kalau tidak Syaikh Noor Kudus akan ditangkap sebab ketempatan saya. Dengan menangis Syaikh Noor berkata kepada saya, “Mas Haji Syoedja’ jangan membuat susah kepada saya dengantidak suka memberikan uang dari mayat.” “Yang membuat susah Syaikh Noor itu kan bukan saya, tetapi Tuan Mudir Syarthoh.” “Sekarang begini saja, supaya urusan ini lantas selesai. M.Wiryopertomo yang telah meninggal itu sampeyan pinjami uang untuk membayar kepada tuan Mudir Syarthoh, nanti sore uang itu dapat diminta kembali di kantor Qadli Qudlat.” “Saya tidak bisa kasih pinjam uang kepada orang yang sudah meninggal, kalau tidak dapat kembali lantas siapa yang mau bayar. Tetapi yang lebih tepat Syaikh Noor saja yang meminjam uang kepada saya untuk membayar maksud itu kepada Mudir Syarthoh. Jadi kalau uang itu nanti tidak kembali Syaikh yang mesti membayar kepada kami.” Syaikh Noor setuju lalu pinjam 100 gulden, terus diserahkan kepada Mudir Syarthoh, tetapi Mudir Syarthoh tidak mau terima karena cuma 100 gulden, seratus rupiyah. Oleh karena saya terimakan tidak diterima karena terlalu sedikit, maka uang itu saya tarik, saya masukkan saku baju saya, sambil berkata, “Kalau tuan tidak mau menerima, ya sudah, sekarang saya menyerah diri, tuan hendak berbuat apa saya sami’na wa atho’na.” Mudir Syarthoh berkata, “Tuan akan saya bawa menghadap Raja Husen.” “Baik, saya tidak keberatan.” “Tuan berani menghadap Raja Husein?” “Insya Allah.” Mudir Syarthoh diam sebentar sambil berfikir, akhirnya uang 100 gulden diterima dengan baik, sambil bangkit dan berkata, “Biamanillah” dan kami sambut, “Ahlan wa sahlan.” Pada hari siangnya kami dibawa oleh badal syaikh ke kantor Qadli Qudlat. Setiba kami di kantor tersebut, katib (juru tulis) sudah siap menerima kedatangan kami, lantas bertanya, “Tuan nama siapa?” “Nama kami H.M. Syoedja’.” “Oo ya, tuan mau ambil barang tirkah tuan Wiryopertomo? Tuan kebenar apa dengan tuan Wiryopertomo yang meninggal itu?” “Kami kebenar pamannya. Sebab itu anak dari saudara sekandung.” “Kalau tuan mengaku paman daripada yang meninggal itu tuan Qadlil Qudlat tidak mau memberikan tirkah itu, tetapi tuan harus mengaku saudara sekandung dengannya, dan tuan berani sumpah.” “Wah, kalau demikian kami berat menjalaninya, karena kami harus bicara bohong dan berani sumpah.” “Tidak tuan, tuan cuma bilang berani sumpah, tidak disuruh sumpah betul, kalau tuan sudah bilang berani sudah cukup, Tuan Qadli Qudlat lantas kasih tanda tangan, tuan lantas terima barang itu dan uangnya.” Masya Allah, inilah tata cara orang Arab di zaman pemerintah Raja Husein. Tamat.

Muhammadiyah Disangka Wahabi di Negeri Makkah Al Musyarafah

Berselang lima hari setelah selesainya pemeriksaan mal warisnya Sdr. Wiryopertomo almarhum, datang seorang alim bangsa Indonesia Jawa Timur. Prosesnya demikian; Kami pulang dari Masjidil Haram bakdal ‘Ashar, belum masuk rumah, tiba-tiba turunlah seorang kyai dari pondokan kami, menuju kepada kami dengan bertanya, “Dimana pondoknya K.H. M. Syoedja’. Apa tuan tahu dimana dia?” “Yang bicara sama tuan itulah dia, H.M. Syoedja’.” “O, tuan sendiri K.H. Syoedja’? Tuan utusan Muhammadiyah dari Jawa bukan?”“Ya, betul, kami utusan Muhammadiyah.” “Saya ingin bertemu dengan Tuan untuk mendapat keterangan tentang soal Muhammadiyah.” “Baiklah, mari kami persilahkan naik ke pondokan kami.” Setelah kami persilahkan duduk dengan baik, kelihatan oleh kami, orang itu agak sombong, terlihat pada katakatanya sebelum mengajukan pertanyaan. “Tahun lalu Sdr. H. Fakhruddin katanya juga utusan Muhammadiyah. Tempo hari akan memberi keterangan kepada kami, tetapi saya datangi dia lantas lari pulang ke Jawa.” “Sekarang Tuan untung ketemu dengan kakaknya, ialah kami, Soal apakah yang akan tuan tanyakan? Tetapi lebih dahulu kami ingin bertanya siapakah Tuan?” Sambil mengambil notes untuk mencatat. “Saya nama H. Abdul Muhid.” “Tinggalnya dimana?” “Tinggal di kampung Syamiyah.” “Asal Jawa di mana?” “Asal dari Sidoharjo Jawa Timur.” “Sudah berapa tahun di Makkah?” “Sudah sepuluh tahun.” “Pekerjaan apa?” “Pekerjaan saya mengajar kanak- kanak di Syamiyah.” “Tuan berusia berapa?” “Kenapa tuan sampai menanya umur saya?” “Tidak ada apa-apa, untuk peringatan saja.” “Oo ya, 40 tahun umur saya.” “Terima kasih.” “Kemudian, apakah yang tuan maksud bertanya?” Muhammadiyah itu apa?” “Muhammdiuyah itu satujami’ahnya kaum muslimin di tanah Jawa.” “Maksud tujuannya apa dan jalannya apa?” “Supaya Tuan tidak salah terima dan sak wasangka, baiklah tuan periksa sendiri inilah Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangganya (ART), kami persilahkan men-thola’ah. Setelah beliau men-thola’ah kurang lebih sampai ART ke-3, lalu berkata, “La ini kok baik tujuannya.” “Memang baik tidak bertujuan buruk.” “La bagaimana kok banyak ulama-ulama Jawa yang berikhtilaf?” “Itu kami tidak tahu dan tidak mengerti apa yang di-ikhtilafi, lebih baik Tuan menegur kepada mereka yang ber-ikhtilaf itu. Itu bukan tanggung jawab kami tetapi tanggung jawabnya yang berikhtilaf. “Benarkah Muhammadiyah keluar dari madzhab empatdan akan mujtahid sendiri, dan kalau benar sudah berapakah ulama Muhammadiyah yang hafal Al-Qur’an dan tafsir tafsirnya dan apakah yang telah di-hafidz serta sudah ada berapa ulama Muhammadiyah yang sudah ahli dalam ilmu hadis dengan sanad-sanadnya dan ilmu yang lain yang menjadi syarat Mujtahid?” “Tuan K. Abdul Muhid mendengar berita yang demikian itu dari mana dan siapakah orangnya? Tanyalah kepadanya supaya Tuan dapat keterangan yang jelas dan tegas serta puas. Muhammadiyah belum pernah membicarakantentang hal keluar atau masuk dari pada madzab empat. Baik dalam sidang anggauta maupun dalam sidang umum yangterbuka dan atau di sidang pengurusnya. Sebab itu memang bukan maksud dan tujuan Muhammadiyah. Tetapi maksuddan tujuan Muhammadiyah seperti yang tertera dalam kitab AD yang telah Tuan baca.” “Bagaimana Muhammadiyah dengan ziarah kubur?” “Muhammadiyah tidak menganjurkan kepada kaum muslimin pada umumnya dan pada anggauta anggautanya pada khususnya, supaya sama ziarah kepada kubur walaupun kuburan keluarganya sendiri, malahan merintangi ziarah kuburnya orang shalih. Karena akibatnya ziarah-ziarah it lantas sama mengajukan permohonan kepada yang ada di dalam kubur, doa restu hidup bahagia, senang, ayem, tentram dan tenang. Bahkan bagi kaum muslimin golongan santri tidak hanya demikian saja, melainkan ditambah pula dengan bacaan tahlil yang dzikirnya sampai beribu-ribu kali di muka kubur, sehingga merasa puas dan terkabullah yang dimaksud dan dituju.” “Apakah pendirian yang demikian itu juga terhadap kepada maqam, kubur, Nabi? “ “Yah pendirian yang demikian itu juga terhadap kepada maqam kubur Nabi.” “Apa yang demikian itu Muhammadiyah tidak meremehkandan menurunkan kebesaran dan ketinggian derajat Nabi. Sedang Nabi itu adalah “wasilatun al ‘uzma ilallah” bagi kita umat Islam seluruhnya.” “Tetapi Muhammadiyah pandang jitssah Rasulullah sama dengan jitssah ummatnya saja. Rasulullah sebagai wasilatunal ‘uzhma ilallah itu pada waktu hayatnya, tetapi setelah mangkat dan sudah menjadi jitssah tidak menjadi wasilah lagi bagi umatnya yang di belakangnya. Bahkan Rasulullah melarang kepada umatnya dengan kata, “Janganlah rumah kamu sebagai kuburan dan janganlah kamu jadikan kuburku hari raya. Bersholawat kamu sekalian atasku. Maka sungguh shalawatmu itu akan sampai padaku darimana kamu ada.” (riwayat Abu Daud dengan sanad hasan) “Sesungguhnya masih ada banyak mas’alah-mas’alah Muhammadiyah yang akan saya pertanyakan, tetapi karena waktu sudah hampir Maghrib, besuk sore ba’dal Ashar akan saya teruskan lagi sekira Tuan ada furshah.” “Baiklah kami terima dengan segala senang hati, kami bersedia di rumah. “Sekarang saya minta diri, Assalamu’alaikum wr.wb.” Sesungguhnya saya merasa sangat keciwa dalampertemuan itu tidak seorang kawan baik dari fihak tamu maupun dari fihak kami sebagai tuan rumah. Kemudian kami teringat 2 orang kawan kami yang sefaham ialah R.H. Isma’il dan K.H. Sya’rani, keduanya dari Banyumas Gambarsaridan Purbolinggo. Kami ingin mengajak hendaknya ikut serta menemui K.H. Abdul Muhid besuk sore ba’dal Ashar. Alhamdulillah, kedua kawan tersebut dapat menerima ajakan kami dengan gembira. Tetapi menyesal sekali bahwa kedua orang tersebut pada pagi harinya sama menghadap kepada Y.M. K.H. Muhtarom sebagai guru dan orang tuanya dari Banyumas juga, tiba-tiba datang seorang baladi, orang-oran resmi memberitakan kepada K.H. Muhtarom dengan katanya, “K.H. Muhtarom di Makkah sini sekarang ada orang Wahabi yang menyelundup.” “Orang Wahabi dari mana Tuan, mereka menyelundup masuk ke Makkah?” “Bukan orang Wahabi dari Sa’udi, tetapi Wahabi dari tanah Jawa, ialah orang dari Jami’ah Muhammadiyah.” “Kalau saya dengar Muhammadiyah bukan Wahabi. Entah benar atau tidak sekarang sedang diselidiki oleh K.H. Abdul Muhid.” Kedua kawan kami yang ada di situ sama terkejut, bahwa K.H. Abdul Muhid terang bukan maunya sendiri tetapi jasus dari Pemerintah Makkah. Kedua saudara kawan kami itu lalu pulang, mampir di rumah sambil mencabut kesanggupannya itu. Tetapi karena desakan kami yang keras, terpaksa kedua saudara kawan kami itu menerangkan sewajarnya. Kemudian pada waktu yang telah dijanjikan K.H. Abdul Muhid tidak datang lagi untuk meneruskan pertanyaan pertanyaannya.

Amanat KHA. Dahlan kepada KHM. Baqir

Semula, sebelum kami menghadap ke rumah beliau KHM. Baqir di Aj-Jiad, beliau sudah lebih dahulu meninjau ke pondokan kami dengan berpakaian yang resmi ragam Arab yang asli Makkawi. Kami sambut dengan bersalaman dan berpeluk-pelukan secara adat istiadat bangsa Arab yang sangat rindu diantara keduanya. KHM. Baqir memang seorang yang sangat ramah tamah dan kami sampaikan salam bahagia dari KHA. Dahlan kepada beliau dan dijawab juga dengan wa’alaihissalam. Dan menanyakan bagaimana keadaan Mak Cilik dan Mbok Cilik Tib Amin? “Alhamdulillah, keduanya ada di dalam sehat dan afiat, hanya KHA. Dahlan sekarang sudah kelihatan tua dan sudah sering jatuh anginanginan, dua-tiga hari kepayahan karena kebanyakan tamu. Hal ini kami hentikan sekian dahulu, nanti akan kami sampaikan amanat KHA. Dahlan yang sangat penting kepada KHM. Baqir nanti di Ndalem saja.” “Kapan Kang Syoedja’ akan ke sana?” “Insya Allah dengan segera”. Kemudian omong-omong sementara waktu sambil minum thee, lalu K.H. Baqir minta diri pulang ke rumah. Tidak selang beberapa hari segera kami bermaksud menuju ke rumah KHM. Baqir dengan melalui sembahyang Isya lebih dahulu di Masjidil Haram bersama dengan seorang kawan jamaah kami yang mempunyai kepentingan kepada beliau KHM Baqir. Sesudah selesai sembahyang Isya, kami berdua dari Masjidil Haram menuju ke rumah beliau dengan membawa yang perlu dibawa untuk beliau. Maka kedatangankami diterima dengan sangat gembira. Lebih dahulu kami mengenalkan kawan kami kepada beliau namanya Moh. Afandi Atmodiwagdo dari Pasar Gede, hendak menghaturkan amanat haji kepada Kyai. Kawan kami lalu menghaturkan amanat itu besarnya 500 gulden sebagai ongkos haji bapaknya, nama Mas Atmowidagdo, kampung Celenan Kotagede Yogyakarta. Dengan permohonan hendaknya pribadinya Kyai sendiri yang menjalankannya. Uang diterima dan permohonannya dikabulkan dengan ucapan terima kasih dan insya Allah. Kemudian kami keluarkan oleh-oleh kami ialah gambar potret gerakan Muhammadiyah. Gambar anggota Pengurus H.B. Muhammadiyah, pengurus Bahagian Pengajaran,pengurus Bhg. Tabligh dan gambarnya para muballigh, gambar anak-anak sekolah Muhammadiyah dan lain-lainnya. Selama beliau mentelaah gambar-gambar Muhammadiyah itu kadang-kadang bertanya kesemuanya itu mengandung pujian dan taajub atas keaktifan KHA. Dahlan sebagai orang tuamasih dapat berusaha keras sampai terleksana satu gerakan Muhammadiyah yang berkembang dan bertumbuh dengan meriah. Akhirnya beliau bertanya kepada kami “Apakah amanat Pak Cilik Tibamin yang akan disampaiikan kepada saya bila Kang Syoedja’ sudah sampai di rumah saya ini?” “Baiklah Kyai, amanat itu akan kami sampaikan, tetapi perkenankanlah kami lebih dahulu akan menghaturkan muqodimmah-nya amanat itu. Amanat itu memang sungguh penting, finnaqli wal ’aqli, sehingga amanat itu tidak dapat diberikan dan diterima dengan cara begitu saja, melainkan harus diberikan dan diterima dengan penggalih yang hening, yang murni dan ikhlas karena Allah swt. serta dengan menggunakan jalan fikiran yang luas dan sabar dan tenang. Demikianlah amanatnya:

1. Baqir suruh pulang ke Jawa, ada apa dia ada di Makkah. Makkah sudah banyak ulama yang sama mengajar, bahkan di Makkah merupakan sumber ulama dari segala bangsa yang mengajar, baik di Masjidil Haram, di rumahrumah dan di rubat-rubat dan sumber murid-murid dari segala bangsa juga yang sama belajar.

2. Makkah satu negeri yang mulia yang diliputi tanah Haram, Tanah Suci, yang tidak masuk seorang di luar Islam di dalamnya, sehingga penduduk Makkah seluruhnya kaum muslimin dan muslimat yang tidak akanmembutuhkan pelajaran agama Islam dari pada Baqir.

3. Baqir mesti pulang, Baqir mesti pulang, Baqir mesti pulang ke tanah Jawa. Kaum muslimin tanah Jawa baik muslimin maupun muslimatnya dari segala lapisan karena dengan lancarnya para Muballigh dan para Mubalighat, maka sama sadarlah mereka itu dan berduyun-duyun sama mengunjungi pengajian yang didatangi Muballigh-Muballighat di tiap-tiap waktu dan tempat yang telah ditentukan. Tetapi sayang sekali bagi mereka golongan terpelajar dan cerdik pandai yang tidak dapat berkunjung di tempat-tempat tersebut, karena tidak bersesuaian saat furshah-nya, mereka ingin berkunjung kepada kyai-kyainya, tetapi hari liburnya itu juga tidak tentu kalau kyai ada di rumah, karena sering kejadian pada hari itu sudah berjanji kepada suatu kelompok cerdik pandai terpelajar di suatu tempat. Oleh karena itu besar harapanku Baqir harus pulang ke Jawa. Walaupun dengan cara yang bagaimana juga.” “Demikianlah kersa-nya amanat KHA. Dahlan kepada K.H. Baqir. Maka tersilah sekarang kami serahkan.” KHM. Baqir termenung sebentar menerima amanat pamannya yang sangat dicintai itu, merasa sangat terharu hatinya, sampai beliau mengeluarkan setetes dua air matanya, karena merasa sangat terharu tetapi sukar dan sulit memikirkannya. “Andai saya sudah tiba di Jawa, kira-kira akan dibebani pekerjaan apa oleh Pak Cilik Tibamin, apakah saya disuruh mengajar di sekolahan atau di madrasah atau dimanakah Kang Syoedja’?” “Entah ya, itu tentu KHA. Dahlan sendiri yang akan mengatur diri Kyai, karena beliau tentu lebih mengetahui dan lebih sempurna. Cuma dugaan kami kalau Kyai hendak dibebani mengajar murid dalam sekolahan atau madrasah itu kami kira tidak. Tetapi membantu pekerjaan KHA. Dahlan dalam memegang pimpinan Muhammadiyah dalam segala jurusan.” “Bagaimana saya dapat memegang pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah, sedang belum pernah dan belum tahu cara-caranya memimpin kumpulan?” “Hal itu KHA. Dahlan dahulu juga tidak pernah dan belum tahu memegang pimpinan perkumpulan, tetapi karena mau, semua tu terjadi. KHA. Dahlan sesungguhnya hal itu tidak perlu menjadi soal, tentu Kyai akan dapat menyertai beliau. Tetapi yang perlu sebagai tugas kami, Kyai disuruh pulang ke tanah Jawa, itulah yang paling penting. Bagaimana sanggupkah atau bagaimana?” “Kang Syoedja’ janganlah tergesa-gesa, saya menanyakan yang demikian itu untuk menjadi syarat saya untuk menentukan sikap saya pulang atau tidak. Malah masih ada pula yang akan saya tanyakan, bilamana nanti saya sudah ada di tanah Jawa. Yaitu cara bagaimana hidup saya sekeluarga di tanah Jawa nanti. Sebab Kang Syoedja’ tentutelah maklum, bahwa keadaan sana di Kauman tidak punya rumah tinggal, sedang saya dan istri saya tidak dapat bekerjaseperti saudara-saudara kita di sana bahkan memburuh saja belum pernah.” “Betul Kyai, kami telah mengerti bakal keadaan Kyai di tanah Jawa itu, tetapi kami kira KHA. Dahlan lebih mengerti keadaan Kyai di Makkah sini. Di Kauman pada khususnya dan di Yogyakarta banyak rumah dan lebih mudah dan lebih murah kalau dibandingkan dengan ma’isyah di negeri Makkah sini. Pendeknya tidak perlu dikhawatirka lagi, Kyai sekeluarga tentu tidak akan menjadi orang asing, tetapi akan bermasyarakat dengan keluarga sendiri sebagaimana yang telah lampau, malahan bertambah erat karena mereka sudah sekian tahun sama rindu dan terharu.” KHM. Baqir belum dapat memberi jawaban yang positif untuk melaksanakan panggilan pulang ke tanah Jawa, untuk membantu pamannya, KHA. Dahlan, yang berkecimpung memegang kendali persyarikatan Muhammadiyah. Itu karena sangat berat rasa hatinya meninggalkan negeri Makkah yang mulia. Memang, barang siapa yang sudah menikmati rasa mulia dan untung hidupnya, dan sulitlah mereka akan meninggalkan negeri itu, walaupun di luar akan bertemu dengan kemuliaan dan keuntungan yang lebih besar dari pada yang didapat di negeri Makkah. Sebagaimana KHM. Baqir telah pernah menyatakan pertanyaannya bagaimana cara hidupnya nanti di tanah Jawa, andaikata dijamin oleh seseorang atau sesuatu persyarikatan dengan terikat atau tidak terikat suatu janji pekerjaan, maka ternyatalah bahwa hidup saya sekeluarga merupakan hidup yang bersifat menadahkan tangan di bawah (yadusufla) padahal keadaan saya di sini walaupun saya tidak bekerja yang terikat suatu perjanjian tetapi, alhamdulillah, Allah selalu memberikan karunia-Nya dengan cukup dan tidak bersifat yadusufla, tetapi bersifat yadul ulya. Yaitu datang dari pada amanat- amanat atau hadiah-hadiah yang tidak dengan seruan saya dan ikatan janji dengan pekerjaan tetapi datang dengan ikhlas dan murni serta hormat. Hingga hampir tiba waktu haji, beliau beluia memberikan jawaban yang positif tentang pulang ke Jawa atau tidak, tetapi malahan memberikan keterangan, bahwa berhubung putranya Abdullah Nuri masih perlu menyempurnakan (mengkhatamkan) menghafidzkan Qur’an dan masih tinggal sedikit, maka penyempurnaan itu akan dilaksanakan di Madinah yang kurang lebih akan memakan waktu dua bulan. Apabila itu berhasil barulah beliau akanmemberikan jawabannya yang positif, ya atau tidak. Walaupun demikian kami masih merasa perlu sekali lagi mendesak dengan desakan-desakan menekankan, “Baiklah KHM. Baqir, walaupun Kyai hendak beristirahat lebih dahulu di Madinah dua bulan, sekira Kyai dapat menentukan pulang atau meninjau saja ke Jawa, insya Allah kami tunggu sampai datang dari Madinah.” Jawabnya, “Saya tidak dapat menjawab lagi, melainkan apa yang sudah Saya katakan itu, lain tidak.” Maka, dengan demikian, berakhirlah pembicaraan kami dengan beliau soal pulang ke Jawa dengan tidak berhasil. Pada tanggal 20 bulan Dzulhijah, memang sudah biasa para masyayih haji di Makkah lalu memerintahkan kepada jamaah supaya bersiap-siap berangkat ke Jeddah dan masyayikh yang mempersiapkan kafilahnya. Pada hari itu kami dengan jamaah berangkat ke Jeddah.Pada tanggal 10 Muharram kami sudah tiba di TanjungPeriuk Batavia dengan selamat dan tanggal 13 Muharram tiba di Yogyakarta dengan sehat dan afiat tidak kurang satu apa. Selang dua hari setiba kami di Yogyakarta, laludiadakan rapat Pengurus Penolong Haji dan saudara-saudaraPengurus Muhammadiyah yang diundang, bertempat di rumah yang ditempati KHA. Dahlan yang pada waktu itu beliau sedang beristirahat di rumah K.H. Ibrahim di Suronatan Jalan Gerjen karena terganggu kesehatannya, untuk melapurkan perjalanan kami ke Makkah dari A sampai Z, yang paling menjadi perhatian dan pertanyaan ialah soal KHM. Baqir yang tidak suka pulang ke Jawa.Sudah tentu KHA. Dahlan sangat keciwa, tetapi walaupun bagaimana juga keciwanya, sudah tidak dapat disesalkan karena memang demikian tabiat dan sifatnya manusia yang sudah menikmati sesuatu hal yang dirasa menguntungkan tentu sukar dan sulit akan meninggalkannya.Alhamdulillah, walaupun KHA. Dahlan sudah seringmerasa terganggu kesehatannya, namun semangatnya tak pernah kunjung padam, usahanya tetap giat sekalipun hanya menggunakan sekedar kekuatan yang ada padanya. Tetapi apabila kesehatan berkunjung padanya, beliau tidak segan meninggalkan bale rumah tangganya berkunjung kepadatempat yang dipandang perlu walaupun keluar daerahnya.

Membangun Wal ‘Asri

Setelah sekian tahun para wanita digembleng dan digodog (cara istilah Bung Karno) tentang ibadat kepada Allah swt. dan akhlaq budi pekerti, menurut Ajaran Islam, supaya bertambah tinggi mutunya da bertambah besar harganilainya di sisi Allah swt, akan dibuka pintu Kursus Wal ‘Asri. Yang menjadi murid hanya anggauta Aisyiyah yang memang mempunyai kesanggupan sungguh-sungguh akan mengikuti pelajaran Wal ’Asri dengan syarat harus berpakaiansecara wanita Islam yang sebenar-benarnya apabila keluar dari rumahnya walaupun akan mendatangi kursus Wal ‘Asri. Yaitu berkerudung, baik dengan madawwarah maupun mahramah yang serapat mungkin, sehingga tidak terlihat sebatang rambut kepalanya. Berbaju juga sampai serapat mungkin, sehingga tidak terlihat tubuh badannya melainkan tapuk tangannya. Berkain sampai tumitnya atau memakai kaus kaki dan sandal atau sepatu. Dan berkhumur. Wanita Aisyiyah yang sadar dan mempunyai kesanggupan demikian itu boleh masuk mengikuti menjadi murid Kursus Wal ’Asri. Sejak dilaksanakan Pengajian Wal ‘Asri banyaklah anggota Aisyiyah yang mengikutinya. Maka terjadilah kursus itu dengan sendirinya lalu bersifat perkumpulan yang dibentuk pengurusnya sebagai bahagian, tetapi bernama urusan daripada Aisyiah (Aisyiah Urusan Wal ’Asri). Kursus Wal ’Asri itu masih tetap dipegang oleh KHA. Dahlan sendiri, hanya setapak demi setapak kalau KHA. Dahlan keluar kota atau ke lain daerah kursus itu diserahkan kepada K.H. Ibrahim, adik ipar beliau, selama beliau tidak ada.

Pengurbanan Besar-besaran

Pada tahun 1922, karena jalannya sekolahan Muhammadiyah yang tidak boleh dihambat pada tiap-tiaptahun mesti terpaksa menambah kelasnya, telah berjalan lebihsetahun sekolah Muhammadiyah menyempurnakanpelajarannya dengan tenaga mantri guru yang bevug. Maka sudah barang tentu dengan adanya mantri guru itu Muhammadiyah harus belanja sekolahnya bertambah. Walaupun belanja mantri guru tidak sebegitu besar, yakn 75 gulden, tetapi karena permintaan subsidi mantri guru itu belum berhasil, belanja itu dikeluarkan hanya dari uang sekolah yang telah dibagi kepada guru-guru yang lain dan dari kantong Muhammadiyah. Berhubung kekurangan uang itu, Muhammadiyah terpaksa menderita pinjaman kepada guru-guru yang tidak sedikit dalam perhitungan masa itu, berkisar diantara 300 sampai 400 gulden. Sudah selama setahun melihat nasib guru-guru yang telah berkurban itu, KHA. Dahlan tidak sampai hati akan mempertangguhkan pembayaran utang itu sampai berapa bulan lagi, maka lalu mengundang kawan Pengurus Muhammadiyah untuk mendaftar barang alat rumah tangganya KHA. Dahlan dari barang yang kecil-kecil barang rumah tangga meja kursi, bangku, kaca tembok, jam tembok, kapstok dan lain-lain. Dari barang-barang pakaian mulai dari terumpah Karsanah, kain sarung palekat, baju-baju dalam dan jas-jas pakaian haris Qamish, jubah dan surban-surban kecuali satu surban, satu jas, dua baju dalam dan dua sarung lama. Seolah- olah KHA. Dahlan bertelanjang diri dan bertelanjang rumah sampai bulat, hanya KHA. Dahlan berjanji seberapa dapat 60 gulden buat beliau, untuk membayar utang yang lain. Walaupun demikian, tetapi KHA. Dahlan tetap dalam suka ria dan gembira karena penjualan barang-barangnya dapat perhatian orang banyak,sehingga harganya menjadi lebih daripada yang diharapkan. Menurut tafsiran sebelumnya harga itu hanya berkisar 400 sampai 500 gulden saja. Tetapi setelah selesai penjualan ternyata dapat berjumlah sampai 4000 gulden lebih sedikit. Sebab, banyak diantaranya barang barang yang dijual sampai beberapa kali, karena menjualnya barang-barang tersebut secara lelang, openbaar verkoping sekeluarga tidak dengan melalui vandumeester. Penjualan ditutup dengan Alhamdulillah dan banyak terima kasih oleh KHA. Dahlan. Namun KHA. Dahlan tetap hanya mengambil 60 gulden saja, sedang yang lain tetap menjadi milik Muhammadiyah untuk menutup utangnya kepada para guru yang sama menderita. Demikianlah pengurbanan yang suci murni dan ikhlas yang ditujukan kepada usaha keagamaan, Agama Islam, tepat dengan janji Allah Intansurullaha yansurkum, apabila kamu menolong Allah, Allah akan menolong kepadamu. Demikian juga KHA. Dahlan yang sudah berani bertelanjang bulat tidak selang berapa jam atau menit, pakaian-pakaian beliau yang dipandang perlu untuk melayani masyarakat dan agama yang sudah dibeli oleh orang, maka dengan lekas dikirim kembali kepada KHA. Dahlan oleh Allah dengan perantaraan si pembeli, untuk hendaknya dipakai kembali dengan lega dan ridha. Sehingga keadaan KHA. Dahlan tidak ada perubahan sedikitpun dari keadaan yang telah lalu. Sejak adanya pembelaan KHA. Dahlan kepada Muhammadiyah yang dahsyat itu sungguh sangat mempengaruhi jiwa semangat kedermawanan kepada keluarga Muhammdiyah khususnya dan kaum muslimin simpatisan pada umumnya. Pada tahun-tahun paruh akhir 1922 banyaklah para dermawan yang mendermakan tanah dan hasilnya kepada Muhammadiyah untuk menjadi miliknya. Tanah dan gedungnya untuk menjadi kantor H.B. Muhammadiyah. Tanah yang cukup untuk pembangunan mushalla ‘Aisyiah, diwakafkan. Tanah diwakafkan untuk bangunan Rumah Miskin. Tanah diwakafkan untuk Gedung Pengajian. Tanah diwakafkan untuk bangunan surau Muhammadiyah. Dan seterusnya dan ada pula yang mendermakan auto-nya untuk kepentingan H.B. Muhammadiyah dan para Bahagiannya, terutama para Muballighin dan Muballighat dan beberapaorang yang menyediakan sepedanya untuk bertabligh. Sejak sadarnya para hartawan keluarga Muhammadiyah dan para simpatisan akan kewajibannya membantu kepada Muhammadiyah sama menyerahkan miliknya berupa tanahtanah dengan secara wakaf atau mendermakan untuk kepentingan Agama Islam, tertampaklah gerak Muhammadiyah yang bersemangat dan giat usahanya. Banyak objek-objekpembangunan baru, umpanya Mushala Aisyiyah, Gedung Nasyiatul Aisyiyah, Rumah Miskin di Tambakbayan dan lain lain tempat pengajian di kampung-kampung sekitar kampung Kauman sehingga gerak Muhammadiyah kelihatan bertambah ramai dan meriah. Tidak kurang pada tiap-tiap malam 10 orang sama mengunjungi tempat pengajiannya masing-masing di desa dan di kampung-kampung yang sudah tertentu pada tiap-tiap minggu sekali atau dua kali. Dengan menggunakan persediaan sepeda yang telah sama disediakan oleh yang memilikinya, para mubaligh sama gembira dan giat memenuhi kesanggupannya masing-masing pada hari dan tempat yang telah ditentukan. Dengan lancarnya perkembangan dan pertumbuhan Muhammadiyah yang ramai dan meriah itu dengan sendirinya Kota Yogyakarta merupakan ibukota tempat Muhammadiyah setanah Jawa pada khususnya dan se-Indonesia pada umumnya. Dengan semangat ke-Islaman dan semangat Agama Islam, dengan sendirinya pula jiwa persaudaraan keluarga Muhammadiyah makin bertambah suburnya, sehingga pada tiap-tiap datang tamu-tamu dari luar daerah yang menuju kepada kepentingan Muhammadiyah, tidak diperkenankan tinggal di rumah penginapan (hotel) karena tiap-tiap pintu rumahnya pengurus Muhammdiyah selalu terbuka lebar untuk menerima mereka dengan gembira dan segala senang hati, walaupun tamu itu tidak dikenal atau belum, asal ada bukti kepentingan yang dimaksud. Mereka dipersilahkan tinggal di rumahnya, hendaknya dipandang sebagai tinggal di rumah sendiri. Demikian juga pada sebaliknya, apabila ada pengurus Muhammdiyah dari Yogyakarta yang datang di tempat untuk meninjau atau memang untuk mengurus sesuatu hal yang penting, maka kedatangannya itu disambut dengan semeriah-meriahnya dan dipandang sebagai kedatangan orang tua yang dihormati dengan penghormatan yang sebaik-baiknya. Jadi pada khulasoh-nya, jiwa ukhuwah Islam dalam Muhammadiyah tidak perlu dianjurkan, karena ukhuwah adalah satu-satunya inti sari agama Islam ialah persaudaraan Innamal mu’minuna Ichwatun Fashlihu baina akhwaikum. Maka dengan Islam itulah memperbaiki persaudaraan.

KHA. Dahlan Melawat ke Jawa Timur

Sejak K.H. Ibrahim telah ikut serta membantu KHA. Dahlan dan memimpin Pengajian Wanita yang dahulu dipegang oleh KHA. Dahlan, kiranya KHA. Dahlan lantas banyak waktu untuk beristirahat, tetapi tidak demikian, bahkan sering meninggalkan kota Yogyakarta keluar daerah yang dipandang perlu untuk dikunjungi, atau memang sudah janji berkunjung. Pada satu waktu KHA. Dahlan berkunjung ke Jawa Timur sampai beberapa hari, diantaranya salah satu yang dikunjungi Kawedanan Sumber Pocong (Kepanjen). Karena disitu memang ada Grup Muhammadiyah yang berhubungan langsung dengan H.B. Muhammadiyah di Yogyakarta sedang mengadakan rapat yang dikunjungi orang banyak. Di situ KHA. Dahlan berjumpa dengan seorang wanita pembicara yang cantas suaranya, cakap cukup bersemangat dan dapat perhatian orang banyak. Sehingga beliau ingin mempersilahkan datang ke Yogyakarta untuk disambut dengan rapat-rapat kaum wanita baik rapat umum, rapat anggauta Aisyiyah, diskusi ceramah yang tentu akan memberi faedah yang banyak kepada Aisyiyah pada khususnya dan kepada golongan wanita pada umumnya. Jago wanita itu rupanya sangat setuju dan permintaan segera diterima, dengan berjanji harus dikawani seorang wanita pula. KHA. Dahlan tidak keberatan, malah kalau ada yang lain lebih baik. Lalu sama minta idzin kepada suaminya dan diidzinkan. Pagi harinya KHA. Dahlan berangkat dari Sumber Pocong dengan spoor yang paling pagi untuk senja sampai di Yogyakarta, bersama dengan dua wanita yang budiman itu. Betul kira-kira jam 5 sore kereta api sudah tiba di station Tugu Yogyakarta. Dua tamu dengan tuan rumah terus menuju Kauman di Rumah KHA. Dahlan dan disambut oleh keluarga KHA. Dahlan dengan gembira ramah tamah. Tamu lalu dipersilahkan mandi dan istirahat.Walaupun tamu dipersilahkan istirahat, tetapi karena di situ memang tempat berkumpulnya pemudi-pemudi Aisyiyah, maka tidak dengan diundang mereka mesti sama datang, lebih pada waktu sore menghadapi berjamaah Maghrib, tentu tamu tidak dapat beristirahat yang sewajarnya. Tetapi tamu malah merasa gembira karena seketika dapat berkenalan dengan mereka yang banyak itu. Sehabis sembahyang Maghrib, lalu mereka pemudi sama beramah-tamah dengan kedua tamu tersebut sampai waktu Isya, sehabis sembahyang Isya lalu bubaran, tamu dijamu makan bersama dengan keluarga nyonyah rumah Ibu Nyai H.A. Dahlan dengan sederhana. Jam 8.30 para pengurus ‘Aisyiyah sudah sama datang kembali untuk berunding dengan tamu-tamu tersebut, untuk membicarakan acara rapat terbuka bagi khusus wanita pada besuk malam, di sekolahan Muhammadiyah pertama di Kauman. Acaranya:

1. Pembukaan dengan bacaan Al-Fatikhah

2. Pidato dari Woro Sastroatmojo tamu dari Kepanjen

3. Pidato dari tamu yang kedua dari Kepanjen Jawa Timur.

Rapat dimulai jam 8.30 dipimpin oleh Ketua ‘Aisyiah. Pada waktunya rapat terbuka itu dapat kunjungan para wanita yang luar biasa banyaknya, sehingga belum pernah terjadi rapat wanita dapat kunjungan yang sekian besarnya. Jam 8.30 tepat rapat dibuka dengan mengucapkan terima kasih banyak kepada hadirat, “dan marilah kita buka dengan membaca al Fatikhah.” Lalu dipersilahkan pembicara Ibu Woro Sastroatmojo tampil ke mimbar. Benar, wanita pembicara itu memang mempunyai sifat wanita pemimpin dalam lagak lagunya setelah tampil ke mimbar yang dihadapi orang banyak itu. Setelah mereka memberikan salam dan bahagia kepada hadirat dengan assalamu’alaikum w.w. dan disambut oleh hadirat dengan suara serempak, lalu merekamulai berbicara menerangkan di sekitar pergerakan yang diikuti ialah pergerakan Syarikat Islam yang sudah berbau merah dengan lancar dan tegas serta bersemangat yang menyala-nyala sehingga dapat membangkitkan dan menyedarkan jiwa yang sedang tidur dan semangat yang lemah. Mereka berbicara satu jam terus dengan lancar dan pantasnya serta tidak dengan istirahat. Memang pada masa itu di Yogyakarta belum pernah terdengar seorang wanita pembicara yang lancar cakap cukup tegas dan tabah hati, sekalipun sebenarnya salah letaknya. Tetapi yang demikian itu bukan tidak diketahui pada sebelumnya oleh KHA. Dahlan, tetapi yang dimaksud memang bukan intisari pidatonya si pembicara, melainkan tegak tegap sikap cakap cukupnya wanita pembicara dan semangatnya. Memang, demikianlah adat istiadat dan sikap serta tabiatnya KHA. Dahlan. Dalam muasyaroh dengan kawan sejawat dan handai taulan, beliau tidak muram meminta akan sesuatu hal yang penting dan yang dibutuhkan, kepada barang siapa saja yang memilikinya, tetapi juga tidak segan memberikan kekayaannya kepada barang siapapun yang belum atau tidak memilikinya. Apakah kekurangan beliau? Dan, apa pula kepunyaan dan kekayaan beliau. Kekurangannya tentu banyak sekali, aneka warnanya, tetapi kalau disingkatkan segala sesuatu yang baik yang dapat untuk memperbaiki masyarakat pada umumnya dan memperbaiki agama khususnya. Setelah selesai pembicara yang pertama, Woro Sastroatmojo, lalu istirahat 15 menit dan dilanjutkan pembicara kedua tampil ke mimbar. Setelah memberikan salam bahagia, maka isi pidatonya hampir sama dengan pendahulunya, karena memang kedua-duanya memang tokoh Sarekat Islam. Bedanya, yang kedua ini ada agak lunak suaranya, tetapi aksi semangat seimbang dan ada juga jenakanya. Mereka berbicara juga lebih kurang sejam. Hadirat riang gembira merasa puas. Lalu pimpinan mempersilahkan siapa diantaranya yang hendak menyambut. Tawaran ini tidak seorangpun yang akan menyambut, karena sebenarnya hadirat itu adalah sama buta politik. Oleh karena tidak seorang yang akan menyambut, maka rapat lalu ditutup pada jam 11.30 dengan mengucapkan Al-Fatikhah dan terima kasih dan selamat pulang. Tamu dan pengurus ‘Aisyiyah tetap sama istirahat di rumah KHA. Dahlan lantas beramah tamah dan senda gurau sampai jam 1 lepas tengah malam, lalu sama pulang ke rumah masing-masing. Malam yang ketiga diadakan rapat anggota ‘Aisyiyah dalam kampung Kauman. Rapat dipimpin oleh ketua ‘Aisyiyah, dibuka pada jam 9 dengan Al-Fatikhah, lantas Siti Hayinah dipersilahkan menerangkan ke-Muhammadiyahan dan ke-‘Aisyiyahan sampai bidang pekerjaan ‘Aisyiyah yang sudah dijalankan pada waktu itu. Walaupun Siti Hayinah, Siti Munjiah, Siti Badilah dan Siti Bariyah masih calon tokoh-tokoh ‘Aisyiyah, sudah barang tentu masih jauh perbedaannya, sehingga rapat anggota ‘Aisyiyah itu lama-lama jadi merupakan pengajian yang tidak tersengaja. Jam 11 rapat ditutup dengan selamat dan membaca Al-Fatikhah. Jam 7 pagi harinya tamu pulang dengan berkudung serta diantar para Pengurus ‘Aisyiah ke Stasiun Tugu menuju ke Kepanjen Jawa Timur dengan gembira.

KHA. Dahlan Hilang Kemana; Satu peristiwa

Jam 8 pagi KHA. Dahlan meninggalkan rumah tidak dengan memberi tahu kepada keluarga akan keman arah yang dituju. Biasanya keluar dari rumah yang hanya dengan cara yang begitu saja, baik dengan memberi atau tidak bila sampai jam 1 lepas tengah hari sudah tiba kembali ke rumah. Tetapi kali ini rupanya ada lain. Beberapa hari sebelumnya KHA. Dahlan ada yang direnungkan dalam hatinya yang berat, tetapi tidak dilahirkan kepada siapapun, kendati kepada keluarganya sendiri. Sehingga tertampak pada keadaan pribadinya yang biasanya memang rajin berhias diri sebagai orang tua, rajin bercukur rambutnya yang sudah tiga perempat beruban, menggunting kumis dan jenggotnya yang tidak pernah sepanjang lebih dari satu setengah sentimeter, tetapi pada saat itu tidak ada kesempatan untuk itu. Oleh karena itu perginya yang tidak memberi tahu itu, menimbulkan rasa bimbang Ibu Nyai H.A. Dahlan karena sampai sore belum tiba kembali. Sehingga barangsiapa yang kelihatan oleh Ibu Nyai ditegur dimana Kiyai. Tetapi yang ditegur tidak seorang yang dapat memberi tahu dimana Kyai ada. Jam 7.30 sesudah bubar orang sembah yang Isya KHA. Dahlan tiba kembali di rumah dengan membawa tentara yang luar biasa banyaknya lebih dari 100 orang dan luar biasa orangnya yang belum pernah dikenal oleh orang Kauman.Orang-orang itu sama dipersilahkan duduk di serambi suraunya dan di bangku-bangku sekolah yang ada di kelas. Dan ada pula yang tidak dapat tempat duduk, terpaksa mereka menongkrong saja di sembarang tempat. Orang-orang yang dibawa itu KHA. Dahlan tidak menerangkan, tetapi melihat keadaan rupanya dari golongan kaum buruh salah satu perusahaan fabrik atau golongan buruh Kereta Api, karena tampak adanya pakaiannya ada di antaranya berpantalon jas putih pakai terumpah, ada berpakaian cara berkain dan berbaju lurik ikat kepala dan bercelana dalam pakai sarung baju cina pakai peci atau topi. KHA. Dahlan tampak kerepotannya dan kacau balaunya dalam hati karena merasa tidak dapat mengatasi melaksanakan pengajarannya dengan total terhadap sebanyak mereka itu, sebab tempatnya bercerai-berai. Akhirnya mengundang budaknya, disuruh memanggil santri- santrinya yang biasa sembahyang berjamaah di surau dengan segera. Datanglah Muh. Suhud, M. Hasan Junaidi, Muh. Juraimi, H. Muh. Syafei, H.M. Syoedja’ dan Muh. Ahmad Badar. Kesemuanya itu santri-santri yang tidak mengenal belajar dalam sekolahan, diundang untuk membantu mengajar mereka orang banyak itu tidak dengan diatur untuk mengajar apa. Hanya empat orang dikhususkan untuk mengajar mereka soal praktik wudlu dan sholat. Yang lain, H.M. Syoedja’ dan Muh. Ahmad Badar disuruh mengajar supaya mereka menjadi orang Islam seperti kamu. Masya Allah, la haula wa la quwwata illa billah. Sudah barang tentu pengajaran yang demikian tidak teratur, dapat digambarkan sebagai si buta menuntun kepada orang yang tidak bermata. Inilah barangkali suatu akibat renungan KHA. Dahlan yang berat beberapa hari pada sebelumnya yang tidak dilahirkan kepada siapapun sehingga terjadi yang demikian itu.

Muhammadiyah Menerima Propaganda Indonesia Sosial Demokrat Vereniging

Tidak berselang lama setelah KHA. Dahlan mendatangkan Propagandis Sarekat Islam golongan wanita yang disambut dengan rapat terbuka dan rapat anggota ‘Aisyiyah, maka tiba waktunya ISDV dari Semarang yang dipimpin oleh Sneevlit dan Baars, ingin hendak menerangkan maksud dan tujuannya di kalangan Muhammadiyah dan diterima oleh H.B. Muhammadiyah dengan diadakan rapat terbuka di kampung Kauman. Rapat dikunjungi oleh Otoriteit bangsa asing, Ass. Residen Hoofd Commisaris van Politi, Oeverstig Controleur Komisaris Komisaris polisi dan para Bupati Pamong Praja Yogyakarta dan lain-lain para priyayi yang terkemuka, kesemuanya mereka itu sama berpakaian dinas putih. Dari ISDV yang datang saudara Semaun dan sdr Darsono yang membuka bicara sedang Baars hanya duduk sebagai tamu. Rapat dipimpin oleh KHA. Dahlan sendiri, dibuka mulai jam 8.15 tidak dengan Al-Fatikhah, tetapi dengan hamer

saja. Dok. Lalu sdr Darsono dipersilahkan tampil ke mimbar untuk membicarakan yang dimaksud. Tentu saja bicarany sdr Darsono itu banyak ladanya sehingga barang siapa yang mendengar lantas menjadi hangat, tidak doyan malah menjadi panas dan sakit. Lebih-lebih terhadap kepada pemerintah Hindia Belanda yang berdasar kapitalis dan Imprealis yang menindas dan mengisap darah rakyat sekuat-kuatnya dan mengangkut keuntungan yang sebesar-besarnya. Demikianlah seterusnya mereka berbicara sampai sejam. Lalu disambung oleh sdr. Semaun dipersilahkan tampil ke mimbar. Sdr. Semaun pidatonya menerangkan di sekitar sama rata sama rasa, yang di atas turunkan di bawah dijunjung. Yang kaya dirampas dan yang miskin ditambah kehidupannya dan seterusnya sampai makan waktu sejam empat puluh menit. Lalu istirahat sementara menit, lalu dipersilahkan siapa yang hendak menyambut dan bertanya. Karena ditunggu sementara menit tidak ada yang menyambut. Maka rapat ditutup dengan lebih dahulu pimpinan mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua saudara pembicara dan mengucapkan banyak terima kasih kepada hadirin dan tuantuan tamu yang diundang dan rapat ditutup dengan suara hamer. Dok. Dengan mengucapkan selamat jalan. Betapa hebatnya akibat dari pada rapat terbuka ISDV dalam Muhammdiyah. Tidak berapa hari daripada sesudah adanya rapat tersebut, datanglah beberapa surat daripada para priyayi pamong praja yang sama menyatakan permintaan berhenti dari anggota Muhammadiyah, karena Muhammadiyah dipandang setuju dengan gerakan ISDV tersebut. Tidak apalah, itu biasa. Tetapi sebaliknya, betapa hebatnya pula semangat jiwa para Mubaligh setelah mendengar propaganda ISDV, mereka bertambah giat dan bertambah tebal keyakinannya bahwa Islam akan dapat kemenangan dalam perjuangannya, karena menyadari dan menginsyafi idiologi ISDV remeh, yang kotor saja dapat laku dijual kepada umat manusia asal ditawarkan. Apalagi Agama Islam yang datang dari Allah dengan wahyu yang amat suci diturunkan kepada Nabi untuk disampaikan kepada ummatnya dari segala bangsa, dengan memberi jaminan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dengan jaminan yang konkrit bagi siapa saja yang patuh dan mentaati. Semua itu syarat yang pokok, para muballigh dan muballighat jangan segan-segan menyampaikan wahyu Ilahi yang suci dan murni itu. “Saudara-saudara para muballighin dan para muballighat yang mulia, dengan kemuliaan saudara-saudara itulah, saudarasaudara dititikberatkan menjadi pelopornya Agama Islam untuk menyampaikan wahyu Ilahi yang suci dan murni itu kepada ummat manusia segala bangsa. Dengan tidak adanya saudara-saudara sebagai muballighin dan muballighat yang aktif dan bersemangat itu, akan musnalah Agama Islam dari mukabumi saudara, yakni dari tanah air saudara.”

KHA. Dahlan Sudah Sering Terganggu Kesehatannya

Sejak pertengahan tahun 1923, KHA. Dahlan memang sudah sering terganggu kesehatannya, sehingga pada hari beliau memimpin rapat tahunan 1922 terpaksa meninggalkan meja pimpinan dari rapat tersebut, karena diserang penyakit yang agak berat, sehingga lalu diangkut kondur (pulang) ke rumah dan tidak dapat kembali melanjutkan rapat-rapat tahunan tersebut, karena beliau harus istirahat lebih dahulu sampai baik dan sehat betul. Demikian kata dokter yang memeliharanya. Tetapi oleh karena memang jiwanya itu sangat besar dan semangatnya tak pernah kunjung padam, jangankan beliau itu sudah merasa sehat betul, sedang merasa ringan sedikit saja, lalu bergiat kembali dengan sekadar kekuatan yang ada. Pada masa itu memang sedang banyak bertumbuh dalam Bahagian-Bahagian dari H.B. Muhammadiyah yang sama membangun gedung-gedungnya masing-masing. Umpamanya, dalam bidang Bhg. PKO membangun Rumah Miskin, bidang Bhg. Yayasan sedang membangun Mushalla ‘Aisyiyah, bidang Bhg. Sekolah sedang membangun HIS dan Kweekschool, Mu’alimmatnya yang kesemuanya itu diawasi oleh beliau, meskipun beliau tidak mengontrol di tempat objek-objek itu, tetapi selalu menegur kepada masing- masing yang mempunyai tugas, sehingga kalau perlu mereka diundang untuk ditegur sampai kemana, sampai seberapa tugas yang telah dikerjakan. Lain daripada itu, beliau tidak henti-hentinya menerima tamu di rumah, baik dari luar maupun dari dalam Muhammadiyah. Pada tanggal 13 bulan Januari 1923, Rumah Miskin dibuka dengan resmi oleh H.B. Muhammadiyah Bhg. PKO dengan dikunjungi utusan dari Rijkbestuur KPA. Adipati Danurejo R.T. Wiryokusumo, R.W. Dwijosewoyo, Dr. Ofrengga, Dr. R. Abdulkadir dan wakil-wakil perkumpulan di Yogyakarta yang diundang dan orang-orang yang terkemuka di Yoyakarta yang diundang. Tetapi KHA. Dahlan tidak dapat menghadiri karena halangan sakit. Anehnya, pada hari pembukaan Rumah Miskin itu ada seorang tamu dari luar daerah Yogakarta yang tidak diundang. Rupanya tamu itu boleh kami pandang seolaholah pesuruh daripada Yang Maha Murah dan Belas Kasih untuk menolong kepada Muhammadiyah dalam suatu hal yang sangat sukar dan sulit untuk melaksanakan cita-citanya yang telah lama diangankan. Tamu itu ialah sdr. Dr. Somowidagdo dari Malang Jawa Timur. Karena melihat usaha Muhammadiyah dalam bidang Penolong Kesengsaraan Oemoem, cenderunglah hati beliau dengan sangat terharu ingin hendak menceburkan diri menyerahkan tenaganya kepada Muhammadiyah dalam bidang Bhg. PKO dengan tidak pakai syarat. Angan-angan yang demikian itu disampaikan kepada KHA. Dahlan yang beliau sedang sakit di rumahnya, diantar dengan seorang temannya, sdr. Dokter hendak bicara sendiri kepada KHA. Dahlan. Setelah sampai di rumahnya, diterimalah oleh beliau dengan segala senang hati dan gembira. Setelah sama bersalaman dan mengenalkan diri satu sama lain, sdr. Dokter dipersilahkan duduk yang baik, lalu sdr. Dokter Somowidagdo menyatakan maksudnya yang terkandung dalam kalbu dengan secara wajar. Pernyataan sdr. Dokter itu diterima dengan besar hati dan gembira, karena itulah yang telah lama diharap-harapkan taufiq dan hidayat daripada Allah swt. Yang Maha Murah dan Belas Kasih. Kemudian, Ketua H.B. Muhammadiyah Bhg. PKO diundang untuk menerima sdr. Dokter dan menyelesaikan perundingan selanjutnya sampai berhasil. Betapa besar dan gembiranya KHA. Dahlan menerima kedatangan sdr. Dokter Somowidagdo yang menyerahkan tenaga dirinya sebagai dokter kepada H.B. Muhammadiyah yang seolah-olah tidak dengan syarat itu. Walaupun belum menyampaikan suatu resep untuk Kiyai, tetapi pribadinya sdr. Dr. Somowidagdo laksana menjadi obat yang mujarab bagi sakitnya KHA. Dahlan. Mudah-mudahan pandangan rasa yang demikian itu benar. Amin. Alhamdulillah, memang setelah KHA. Dahlan mendengar keputusan perundingannya H.B. Muhammadiyah Bhg. PKO dengan Dr. Somowidagdo sudah selesai dan bahkan sudah direncanakan bila hari tanggal berapa Balai Pengobatan itu akan mulai dibuka walaupun secara sederhana dengan rencana yang konkrit, tampaklah riang gembiranya, seolaholah sudah sehat 100% sakitnya, tetapi masih belum keluar dari rumah. Untuk menyempurnakan kesehatan KHA. Dahlan karena hampir mendekati bulan rapat tahunan 1923, makamusyawarah H.B. Muhammadiyah yang khusus membicarakan hal itu, diputuskan KHA. Dahlan dipersilahkan supaya mengambil kesempatan istirahat atau tetirah keluar daerah, supaya dapat bersungguh-sungguh istirahat dengan tenang tidak terganggu dan terdesak urusan hari-hari, baik urusan kumpulan maupun urusan yang lain. Tempat dan waktu istirahatnya diserahkan kepada KHA. Dahlan sendiri. H.B. Muhammadiyah menyetujui saja. Kemudian KHA. Dahlan memberikan pernyataan tempatnya di Gunung Tretes, bawah Karesidenan Malang Jawa Timur. Adapunberangkatnya dipertangguhkan untuk mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan. Setelah selesai persiapan perlengkapannya, KHA.Dahlan menentukan hari dan jam berangkatnya dari Yogyakarta. Dan berangkatnya harus diantar oleh sedikitnya dua orang dari anggota H.B. Muhammadiyah yang ditentukan, ialah sdr. H. Fakhrudin dan sdr. M. Abdullah. Sesudah mendapat tempat yang baik di Tretes, KHA. Dahlan pun sudah puas. Sesudah dua malam, para pengantar itu sama minta diri pulang ke Yogyakarta. Menurut laporan daripada dua orang pengantar dari Tretes, bahwa KHA. Dahlan sudah tentrem tenang hati mustarih, karena sudah dapat pelayan yang jinak dan cakap untuk melayaninya dengan memuaskan Kita semua yang menerima dan yang mendengar laporan itu serempak membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Tetapi KHA. Dahlan ada beda daripada yang lain. Setelah mendengar laporan bahwa KHA. Dahlan sudah tenteram, tenang dan mustarih lantas serempak membaca alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Padahal, sepulangnya dua orang pengantar, mumpung masih ada kesempatan, lantas menyingsingkan lengan bajunya bertabligh kepada penghuni di Tretes sambil membina surau sampai berdiri tegak untuk berjamaah lima waktu. Walaupun sesungguhnya sakitnya tidak mengurang malah bertambah. Namun, di Tretes berdirilah dengan tegak sembahyang berjamaah lima waktu di surau yang baru itu. Oleh karena sudah hampir dua bulan KHA. Dahlan dalam tetirahnya dan sedang hari rapat tahunan 1923 hampir tiba waktunya, tetapi KHA. Dahlan masih ayem tenteram belum dijemput oleh dua orang anggota H.B. Muhammadiyah ke Tretes. Setibanya dua orang penjemput dari Yogyakarta di Tretes, terlihat pribadinya KHA. Dahlan tampak tidak tambah sehat, malah tambah berat. Badan tambah kurus tetapi kakinya bertambah bengkak. Hanya cahaya roman wajahnya kelihatan gembira dan berseri-seri dan senyum karena hatinya merasa puas, bahwa usahanya selama tetirah, yaitu bertabligh dan menegakkan surau untuk menegakkan sembahyang berjamaah lima waktu. KHA. Dahlan degan terganggu kesehatan jasmaninya itu tidak harus dipandang sebagai rintangan yang menghalangi tugas, rasa tanggung jawab akan sesuatu kewajibanan yang harus ditunaikan olehnya. Setelah dua orang penjemput istirahat sementara dan memberitahukan perkabaran di Yogyakarta, sambil bersiap siap turun dari Tretes dengan taksinya menuju ke Malang. Menginap satu malam dan pagi harinya berangkat dengan spoor pagi yang menuju Yogyakarta. Jam 5 sore tiba di Stasiun Tugu, terus pulang menuju rumah dengan selamat tidak kurang satu apa. Alhamdulillah. Setibanya di rumah, keluarga di rumah merasa terkejut melihat KHA. Dahlan tampak badannya lebih kurus dan kakinya bengkak, tetapi roman wajahnya kelihatan gembira dan cahaya wajahnya berseri-seri agak mengurangkan kesedihan hati mereka para keluarga. Oleh karena pulangnya KHA. Dahlan dari petirahan Tretes karena adanya rapat tahunan Muhammadiyah 1923, sekalipun bagaimana juga keadaan dirinya yang dalam kurang sehat itu, karena merasa tanggung jawab sebagai Ketua Umum H.B. Muhammadiyah, ingin juga akan memberikan wasiat dan amanat kepada rapat tahunan tersebut sebagai pembukaan rapat itu.Hadirnya beliau KHA. Dahlan dalam rapat tahunan didampingi oleh anggota H.B. Muhammadiyah yang sengaja menyertainya. Dan disambut oleh beberapa orang dengan salaman, lalu duduk di kursi di meja pimpinan bersama sama kawan anggota H.B. Muhammadiyah. Sebelum rapat tahunan dibuka, ketua KHA. Dahlan lebih dahulu mengucapkan selamat datang dan banyak terima kepada hadirin, mudah-mudahan rapat ini membawa hasil yang memuaskan dengan taufiq dan hidayat Tuhan Allah swt. Amin. Rapat dibuka dengan membaca Al-Fatikhah, dan diketok. Pimpinan diserahkan kepada yang lain, KHA. Dahlan tampil ke mimbar memberikan wasiat, amanatnya sepatah dua patah kepada hadirin. Perkataan beliau dengan bahasa Jawa Tengah yang halus, karena tak pandai bahasa Indonesia yang cukup. Dengan membawakan dua hadis yang dahulu bias untuk iftitahnya membaca kitab dimasa mengaji dengan kitab, ialah “Qalallahu ta’ala, wa huwa ashdaqul qailin: Inna ashdaqol hadis kitabullah, wa khairul haji haju Muhammadin saw. Wa syarrul umuri muhdatsatuha. Wakullu muhdatsin bid‘ah wakullu bid’atin dholalah, wa kullu dhola-latin finnar”. Yang maksudnya, bersabda Rasulullah saw, berfirman Allah swt. yaitu sebenar-benarnya daripada orang-orang yang berkata; Jelasnya firman Allah itu lebih benar daripada kata-kata manusia yang berkata. Apakah firman Allah? Sungguh sebenar-benar cerita ialah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw. dan seburuk-buruk segala perkara itu ialah perkara yang dibuat-buat, semua perkara yang dibuat-buat itu bid’ah dan segala macam bid’ah itu sesat, dan segala yang sesat itu masuk neraka. Lagi sabda Nabi, “Taroktu fikum amraini ma idz tamassaktum bihima lantadhillu abada, kitabullah wa sunnati rasulihi.” Yang maksudnya, Telah kutinggalkan didalammu dua perkara, selama dua perkara itu kamu pegang teguhteguh, tidak akan sesat kamu selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnat Rasul-Nya. Dua buah hadis di atas itu dengan penjelasannya yang ditekankan dalam rapat tahunan Muhammadiyah kepada anggota-anggotanya, sehingga tercetaklah jiwa anggota Muhammadiyah menjadi jiwa Muhammad. Karena pada keyakinannya, untuk merobah keadaan Islam di Indonesia yang sudah menjadi Islam jahiliyah itu, tidak mungkin kalau akan berhasil, bila tidak dengan gerak ummat yang giat dan kuat serta betul-betul ummat itu berjiwa Muhammad. Jadi khulasohnya, Muhammadiyah harus berani bergerak dengan segala kekuatannya, sehingga dapat merobah adat istiadat Islam yang mengikuti Sunnah Rasul-Nya. Demikianlah diterangkan kurang lebih 30 menit, KHA. Dahlan lalu turun dan tidak duduk kembali, tetapi terus pulang ke rumah. Rapat diteruskan oleh pimpinan yang lain. Pagi harinya diundang dokter van De Burne, beliau dokter yang menjadi langganan untuk memelihara KHA. Dahlan. KHA. Dahlan lalu diperiksa seperlunya lantas diberi obatnya dengan resep dan supaya istirahat. Selang satu hari dokter Ofringa, sahabat karibnya KHA. Dahlan, setelah mendengar beliau sudah pulang dari Tretes, lalu ia meninjau sahabat karibnya. Setelah ia melihat keadaan KHA. Dahlan dalam sakitnya, maka ia sangat menyesal sekali karena pendapatnya sakitnya KHA. Dahlan itu tidak perlu tetirah di tempat yang jauh, apalagi di tempat yang dingin tetapi cukuplah tetirah di rumah saja, sebab yang perlu bukan tetirah jasmaninya, tetapi yang perlu tetirah ialah fikirannya, jangan memikirkan soal-soal yang berat-berat dan soal yang berat itu dilepaskan dahulu, sehingga hati tentram dan tenang. Makan yang banyak apa saja yang diinginkan boleh makan. Asal hati tenang tentram. Nanti bila sudah baik boleh bekerja lagi fikirannya. Pendapat dan nasehat dokter Ofringa yang demikian itu diterima saja oleh Kyai dengan: “Ya”, tanpa dibantah. Tetapi..? Sejak kondur-nya KHA. Dahlan dari tetirah, K.H. Ibrahim, adik iparnya, yang menunggu melayani kepentingannya sehari-hari dalam geringnya, tentu saja KHA. Dahlan sangat puas dilayani olehnya, karena dapat mencurahkan segala isi hatinya kepada beliau, untuk kepentingan Muhammadiyah sepeninggalnya. Tetapi yang demikian itu menurut ijti hatnya dokter dokter sangat membahayakan pada geringnya. Oleh karena itu maka diusulkan hendaknya Sdr. Dr. Somowidagdo diundang untuk memberikan pendapat dan pertimbangannya. Setelah Dr. Somowidagdo memeriksa keadaan geringnya, pendapat dan pertimbangannya malah lebih keras, sehingga perlu dilarang orang-orang yang akan meninjau kepada KHA. Dahlan dengan larangan keras. Pintu di muka harus ditutup dan papan tulis di muka pintu ditulis larangan meninjau KHA. Dahlan. Sejak larangan meninjau itu ditulis, maka beberapa hari tidak ada orang yang berani datang meninjaunya. Dengan tidak datangnya orang yang meninjau geringnya, KHA Dahlan merasa cemas kesepian karena tidak mendengar berita gerak-geriknya Muhammadiyah daripada orang- orang yang sama bertugas akan satu-satunya proyek yang diusahakannya. Maka dipanggil mereka itu dengan saling bergantian untuk ditanya sampai seberapa atau sampai kemana usahamu yang kamu kerjakan. Yang ditanyapun memberikan keterangan seperlunya dan secukupnya. Walaupun sudah dikurangi peninjau-peninjau yang sama menjenguk, hanya peninjauyang diundang saja, tetapi hari hari ada saja yang datang karena undangan entah satu atau dua. Sekalipun demikiantetap juga bertentangan dengan pantangan dari dokter yang memeliharanya.

Ibu Nyai H.A. Dahlan

Oleh karena Ibu Nyai H.A. Dahlan melihat geringnya KHA. Dahlan sejak pulang dari tetirah di Tretes, tidak makin kurang, tetapi malah kelihatan makin bertambah, maka cemaslah dan bimbang hatinya khawatir kalau-kalau KHA. Dahlan mendahului meninggalkan Muhammadiyah yang selama-lamanya. Karena mengingat nasehat dokter-dokter yang merawat tidak dapat terleksana. Telah beberapa hari Ibu Nyai hendak memajukan isi hatinya yang didasarkan kasihan dan kesayangan, tetapi tetap dalam keragu-raguan kalau-kalau Kiyai salah terima. Namun Ibu Nyai terpaksa juga menyampaikan isi hati itu karena tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan hati-hati Ibu Nyai menyatakan rasa hatinya berbareng dengan tetesan air matanya. “Kiyai, apakah tidak baik kalau nasehat dokter-dokter yang sudah sependapat bahwa untuk mengurangkan penderitaan kegeringan Kiyai hanya satu jalan, ialah lepaskan fikiran-fikiran yang berat, terutama Muhammadiyah. Muhammadiyah itu masih panjang dan masih jauh perjalanannya. Oleh karena itu, cobalah nasehat dokterdokter itu dilaksanakan. Bila nanti Kiyai sudah sehat diusahakan lagi selanjutnya.” Kiyai yang berbaring karena payahnya itu, terpaksa minta tolong dibangunkan oleh K.H. Ibrahim hendak duduk, dan lantas dibangunkan dan duduk. Tampaklah roman mukanya yang kecut tanda marah yang besar dengan mengangkat tangannya menunjuk kepada Ibu Nyai, dengan sayup-sayup berkata, “Nah, sekarang iblis sudah menjelma berwujud Nyai, akan memecatku dari pada Islam Muhammadiyah, yang kemarin sudah menjelma kepada dokter-dokter akan memecat kami dari Muhammadiyah tidak sedikit kuperhatikan, rupanya iblis tidak puas lantas menjelma berupa Nyai. Oh, Nyai Iblis. Lupakah kau akan pelajaranku “Wa la tamutunna illa wa antum muslimun?” Pergilah jangan mendekat aku.” Ibu Nyai seketika itu lantas bercucuran air matanya dan tersedu-sedu menangis sambil minta ampun dan maaf yang sebesar-besarnya, maaf atas perbuatannya yang dipandang salah itu.

KHA. Dahlan Wafat

Selang satu malam, hari Jum’ah malam Saptu, tanggal 7 Rajab tahun 134 Hijriyah jam hampir tengah malam, K.H.A. Dahlan melepaskan nafas yang terakhir, meninggalkan Muhammadiyah selama-lamanya, di hadapan keluarga yang banyak dengan tenang dan suasana tentram. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Mudah-mudahan Allah menerima Ruh beliau dengan sebesar rahmat dan nikmat- Nya disisi-Nya. Allah humma amin. Jisim KHA. Dahlan dimandikan pada malam itu juga oleh para keluarganya sendiri, setelah selesai dikafani dengan kain putih dan dimasukkan ke dalam janazah lalu ditaruh di langgar suraunya yang disayangi itu. Janazah akan berangkat dari Kauman jam 10. Yang hadir menghormat daripada orang- orang besar Tuan Raden Sastrowijoyo, Wakil Residen Yogyakarta KRT. Wiryokusumo, Wakil Rijkbestuur der Yogyakarta Hoofd Panghulu R. Haji Muhammad Kamaludiningrat dan para Bupati yang menjadi anggota Muhammadiyah dan lain orang yang terkemuka. Sebelum janazah diberangkatkan, lebih dahulu disholatioleh K.H. Lurah Nur, kakak ipar KHA Dahlan, dan beberapa para alim ulama di kota Yogyakarta. Selesai disholati, janazah diberangkatkan menuju makam Karangkajen melalui jalan Grejen, Ngabean (yang sekarang bernama Jl. KHA. Dahlan), Gondomanan sampai Karangkajen. Jalannya janazah dengan memakai upacara sekadarnya, yaitu di muka janazah barisan Hizbul Wathan kurang lebih 200 H.W. Setelah KHA. Dahlan dikebumikan, sama hadirlah saudara-saudara dari wakil Cabang Muhammadiyah dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan diantaranya yang sama bertakziah kepada keluarga almarhum dan kepada H.B. Muhammadiyah. Dengan secara kebetulan dengan sendirinya terjadilah perundingan-perundingan diantara anggota H.B. Muhammadiyah dengan para pengurus Cabang yang sama datang bertakziah, berhubung dengan tidak adanya susunan pengurus H.B. Muhammadiyah, maka perlu diadakan walapun dengan secara ad interim sebagai Wakil Ketua H.B. Muhammadiyah untuk menjalankan pimpinan H.B. Muhammadiyah sampai pada perkumpulan tahunan yang akan datang. Untuk sementara diputuskan sebagai Wakil Ad interim K.H. Ibrahim sampai Rapat Tahunan yang akan datang atau pilihan anggota pengurus H.B. Muhammadiyah baru. Maka, K.H. Ibrahim menerima juga jabatan itu dengan karena Allah.

Wasiat Almarhum KHA. Dahlan kepada K.H. Ibrahim

“Him,” kata K.H.A Dahlan sewaktu masih dapat bicara dengan tenang dan tenteram, “Agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak pegangannya dan rusak pula kalengnya sudah sama bocor dimakan karat, sehingga tidak dapat digunakan pula sebagai gayung. Olehi karena kita umat Islam perlu akan menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat karena gayung itu sudah sangat rusaknya. Sedang kami tidak mempunyai alat untuk memperbaikinya, tetapi tetangga dan kawan di sekitarku itu hanya yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui dan tidak digunakan untuk memperbaiki gayung yang kami butuhkan itu. Maka perlulah kami mesti berani meminjam untuk memperbaikinya Siapakah tetangga dan kawan-kawan yang ada di sekitar kami itu? Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka orang- orang terpelajar yang mereka itu tidak memahami Agama Islam. Padahal mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu muslim juga. Karena banyak mereka itu keturunan kaum muslimin, malah ada yang keturunan Pengulu dan Kiyai yang terkemuka. Tetapi karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya dalam keadaan krisis dalam segalagalanya, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu, dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga mereka mengenal kita dan kita mengenal mereka. Sehingga perkenalan kita bertimbal balik,sama-sama memberi dan sama-sama menerima.

B. Tujuan, Visi & Misi Muhmmadiyah

1. Tujuan Muhammadiyah

Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

2. Visi Muhammadiyah

“ Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senangtiasa istiqamah dan aktif dalam melakasanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar disegala bidang sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi umat yang diridhai Allah swt, dalam kehidupan ini.”

3. Misi Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan dkwah amar ma’ruf Nahi Mungkar memiliki

Misi yang mulya dalam kehidupan ini, yaitu :

a. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah Swt yang di bawa oleh Rasululah Muhammad Saw.

b. Memahami Agama dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi

c. Menyebarkan ajaran Islam yang bersumber pada AL-Qur’an dan Sunnah Rasul .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar